LIDAH MANJA UMAR KAYAM
ditulis oleh BONDAN WINARNO
Kami memperingati kematian. Tetapi, yang sungguh kami rasakan justru adalah kehidupan. A life lived to the fullest. Begitulah setidaknya yang saya simpulkan ketika menghadiri acara peringatan seribu hari kematian Umar Kayam [UK], budayawan yang merakyat, di Gedung Sositet, Yogyakarta, malam minggu yang lalu.
Mengapa di Yogyakarta ? Bukankah pada akhir hayatnya Mas Kayam lebih banyak tinggal di Jakarta ? Dan dimakamkan di Jakarta pula ? Kedirian UK memang lebih identik dengan Yogya. Sekalipun selama tinggal di Yogya pun ia sudah bolak-balik ke Jakarta karena keluarganya pindah ke ibu kota, bagi UK yogya adalah panggung utamanya. Seperti ditulis Jennifer Lindsay, "disanalah dia tampil bersama cantriknya, tokoh-tokoh lokal - tetapi, seperti pemain ketoprak, dia bisa masuk-keluar panggung itu pada setiap saat, menurut berkembangnya lakon."
Begitu masuk Gedung Sosistet [Soos atau Sociteit di masa Hindia-Belanda dulu], para tamu disambut dengan denting-denting siter [sitar, kecapi] Pak Narto. Semua teman-teman Mas Kayam tentu ingat, Pak Narto "The Troubadour" dulu selalu datang seminggu sekali ke B-12 [sebutan untuk rumah UK di kompleks perumahan dosen Universitas Gadjah Mada, Jalan Bulaksumur B-12]. Kepada tamu-tamunya, dengan bangga UK menyebut Pak Narto sebagai roving ambassador kesenian Jawa, yang keluar-masuk kampung menggotong sitarnya. Seni ndeso selalu merupakan kepedulian Mas Kayam.
Di dekat pintu masuk tersaji berbagai jajanan pasar kesukaan UK. Saya terkejut menemukan cabuk rambak, sebuah makanan khas Solo, tersaji dalam kelompok jajanan pasar. Di Solo, makanan sederhana ini sudah hampir punah. Dulu, orang Solo suka makan cabuk rambak untuk sarapan - jajanan ndeso. Hanya ketupat diiris-iris, dan dimakan dengan sambal yang mirip sambal pecel, dan krupuk karak.
Selain sebagai budayawan terkemuka Indonesia, UK harus dicatat sebagai promotor makanan tradisional. Ia sangat suka memanjakan lidahnya, dan paling tahu di mana bisa memperoleh makanan tradisional yang paling enak. [Bayangkan, betapa sedihnya ketika pada hari-hari terakhir hidupnya, ia hanya "makan" melalui infus. "Makan tanpa bisa saya rasakan?"protesnya kepada dokter, dan memandang selang infus dengan nelongso].
Di dalam gedung tersaji display kehidupan UK. Di layar, sebuah film tentang kehidupan UK terus-menerus diputar. Di beberapa sudut tampak replika ruang kerja UK di B-12, display foto, koleksi lukisan UK, bahkan juga mobil dinas jip Toyota keluaran tahun 1977 berplat merah. Saya terharu melihat lukisan kaca bertuliskan "Sugeng Rawuh". Saya ingat benar di mana letak lukisan itu, di dekat pintu masuk rumahnya. Lagi-lagi, contoh lain keberpihakan Mas Kayam pada seni ndeso yang kemudian memang membuat seni lukis kaca naik daun.
Sangat banyak kawan-kawan yang datang malam itu. Sekitar 500 orang memenuhi Gedung Sositet. Segala usia, segala lapisan sosial - persis ketika Mas Kayam masih hidup dulu. Banyak yang khusus datang dari luar kota, seperti Goenawan Mohamad, Nano dan Ratna Riantiarno, Binny Buchori, termasuk Jennifer Lindsay yang khusus datang dari Singapura. Betul-betul reuni Kayam-fans!.
Sebelumnya, tahlil 1000 hari memang sudah dilakukan sendiri di rumah Mbak Yus Kayam, istri UK. Dalam kepercayaan Jawa, seribu hari setelah kematian merupakan ritual pelintasan yang signifikan. Setelah 1000 hari, jasad yang ditanam telah hancur, dan pada saat itu terputus pulalah semua hubungan dengan dunia fana.
[sekedar catatan: Mas Kayam meninggal pada 16 Maret 2002. Awalnya, ketika sedang dalam kondisi sakit berkepanjangan, rumahnya di Cipinang Indah kebanjiran. Air masuk hingga 1,5 meter ke dalam rumahnya. UK ditandu, dan dievakuasi. Selama sebulan ia mengungsi di rumah Saryanto Sarbini di Menteng. Sepulang kembali ke Cipinang, ia terjatuh di depan kamar mandi. Pangkal pahanya patah. Setelah operasi, diketahui ususnya pecah dan mengalami pendarahan].
Acara yang dipandu oleh MC Jajang Pamuntjak dimulai dengan penampilan dalang wayang suket Slamet Gundono. Ia tidak mendalang malam itu. Ia melantunkan tembang yang digubahnya khusus untuk Mas Kayam dengan gitar kecil yang dimainkannya sendiri. Lagu kedua, diiringi perkusi oleh Djaduk Ferianto, yang juga menjadi penyanyi kedua. Keduanya tampil kompak dan menawan.
Setelah itu Ashadi Siregar memperkenalkan buku yang baru saja diterbitkan oleh Yayasan 1000 Kunang-Kunang [ingat cerita pendek UK berjudul "Seribu Kunang-Kunang di Manhattan"?]. Buku itu berjudul Umar Kayam Luar Dalam - sebuah kumpulan tulisan dari beberapa orang yang dekat dengan Mas Kayam.
Kemudian, kami disuguhi rekaman suara dan video Mas Kayam pada hari-hari terakhinya. Di dalam rekaman itu Mas Kayam sudah sangat jelas meninggalkan pesan-pesan terakhir. Ia siap dan pasrah. Ia sadar benar bahwa El Maut sudah menunggu di depan pintu. WS Rendra diminta membacakan puisi di kaki tempat tidur - terekam dengan latar belakang suara orang mengaji di sekeliling deathbed UK.
... kemarin dan esok adalah hari ini
bencana dan keberuntungan sama saja
langit di luar, langit di badan
bersatu dalam jiwa
Dalam rekaman video itu, tampak UK dalam kondisi yang teramat rapuh. Namun, diatas tempat tidurnya, ia masih melayani Jennifer Lindsay yang mengajaknya berjoged ketika menjenguk. Ia mendengarkan lagu "Ave Maria" yang dinyanyikan Dunuk untuknya.
Beberapa orang yang tak tahan melihat tayangan itu, keluar diam-diam. Dan menunggu di serambi. Mereka masuk lagi ketika Butet Kartaredjasa tampil "menirukan" UK pada hari-hari terakhirnya. Sita dan Wulan, kedua anak UK, tak tahan melihat penampilan Butet. Mereka segera keluar. "Butet hebat. Persis Bapak," kata Wulan. Beberapa orang yang tadi keluar, kemudian keluar lagi karena tak tahan menyaksikan Mas Kayam "hidup kembali" dalam raga Butet.
Obrolan Butet itu sungguh membuat kami menyadari betapa ndalem Pak Ageng di Bulaksumur B-12 itu telah menjadi rumah singgah bagi begitu banyak orang dari berbagai jalan hidup. Di rumah itu - termasuk juga di warung-warung ke mana UK sering mengajak teman-temannya - selalu terjadi dialog yang intens, olah rasa yang mendalam, dan obrolan yang menyenangkan. Rumah B-12 boleh dibilang merupakan sebuah "pusat" yang turut menjaga nurani Yogyakarta. Dari rumah ini keluar berbagai pemikiran, baik dari UK, maupun dari orang-orang yang ikut ngobrol dengannya. Bukan hanya Yogya, pemikiran-pemikiran UK bahkan menembus ke tataran nasional maupun internasional. Yogya harus memikirkan untuk apa rumah B-12 itu nanti setelah keluarga Umar Kayam menyerahkan rumah dinas itu kembali ke UGM.
Semua orang tertawa ketika pada akhir penampilannya Butet menyatakan keheranannya. "Pak Kayam itu ndableg dan ngeyelan, tetapi ternyata ia sangat pasrah ketika menghadapi kematian," katanya.
Lalu, Jajang mempersilahkan kami makan. Banyak makanan ndeso dan sajian kaki lima yang dihadirkan di sana. Seperti dikatakan Butet, dulu Mas Kayam selalu jadi kasir yang siap nraktir. "Bila kami datang ke tempat Pak Kayam, selalu terjadi perbaikan gizi, " katanya. Jenis-jenis makanan itulah yang disajikan untuk makan malam kami.
Ada sate kambing kesukaan Mas Kayam. Ada thengkleng dan nasi liwet Keprabon dari Solo. Ada sate ambal van Kebumen. Ada pecel sambel wijen. Ada gudeg selokan - nama yang mengacu pada para penjual gudeg versi mBarek yang berlokasi di kawasan Selokan Mataram. Dan tentu saja ada penggeng eyem [panggang ayam Klaten] Pak Joyoboyo yang selalu disebut-sebutnya dalam kolom "Mangan Ora Mangan Kumpul". Juga brongkos Mister Rigen [julukan bagi pengemudinya, Sadimin]. Tak lupa "Nasi Goreng Masih Sepuluh" [nama asli "Bakmi Ketandan", konon masih saudara Harry Tjan Silalahi] kesukaan Mas Kayam. Gerobag wedang ronde bahkan sudah tidak menyisakan apa-apa ketika acara makan malam resmi diumumkan pada pukul sembilan malam. Rupanya, sudah terlebih dahulu "digerilya" sebelum kami keluar dari mengikuti acara di dalam.
Sambil makan, kami dihibur oleh kelompok musik "Sinten Remen" pimpinan Djaduk Ferianto dengan berbagai lagu yang menyemarakkan suasana. Makanan cepat habis diserbu para hadirin. Untung saya masih kebagian sedikit trancam dan brongkos Mister Rigen yang legendaris itu.
Semua sajian itu sungguh membuat kenangan tentang Mas Kayam menjadi semakin nyata. [Silahkan baca juga "Napak tilas Makansutra Mas Kayam" di Jalansutra, Mei 2002, atau di halaman 314 buku Jalansutra]. Sungguh, malam itu kami tidak merayakan kematian. Kami seperti merasa Mas Kayam masih ada bersama kami, dan dengan senyum lebarnya memperhatikan kami semua makan dengan gembira.
Terima kasih Tinuk Yampolsky dan Yayasan Lontar yang telah menjadi event organizer bagi acara ini. Mas Kayam pasti tertawa terbahak-bahak di atas sana, melihat kalian semua mau-maunya dikerjain olehnya.
No comments:
Post a Comment