Tuesday, July 19, 2005

PEMIKIRAN YANG MELINTAS

* kenapa kok gue jadi ngga sabaran yaa ?

* ada perbedaan mendasar antara egois, sense of ingin menang sendiri, keseriusan dan poor mentality

* am I the competitor ? atau lebih tepatnya apakah saya terlalu unjuk diri dengan kemampuan yang saya punya ?

* ini kok ngantuk terus sich ?

* nanti pulang jam berapa yaa enaknya ? ujan besar, motor kotor dan maleus ajah gitu pake jas hujan

* besok mau ngapain ?

* mudah-mudahan Om Dubes ngga molor waktunya so ke airportnya bisa on time

Tuesday, July 12, 2005

ada rasa enggan untuk bertemu
namun tak bisa terelak
tak ada tatap mata
tak ada senyum
bahkan tak ada ucap selamat pagi

aku tahu bahwa semua bukan salahmu
aku yang bodoh
keledai dungu yang tak tahu diri
mencintai
menyayangi
mengasihi
dirimu yang tak bisa membalas semua

aku geram akan diriku
ketololan meraja dalam setiap jejak langkahku
sampai kusadari
bahwa masanya telah usai
dan aku harus terus berpijak pada bumi
tanah tempatku melangkahkan kaki-kaki hakikiku

betapa kau pun miliki hati
untuk membohongiku selama ini
seolah memberi harap akan asa yang kutanam
seolah memberi ruang pada dewa dewi cinta
yang asyik bercengkrama

kini
untuk kesekian kalinya
aku terjatuh
terjerembab
pada lembah nista
lembah nista

aku hanya alatmu
untuk memuaskan semua materi

ah ..
sudahlah .. tak guna meracau
kuucapkan selamat untukmu
semoga nanti kau sadari
bahwa aku tulus mencintaimu
bahwa aku tulus menyayangimu
bahwa aku tulus mengasihimu
itu pun kalau kau sadari
itu pun kalau kau masih punya nurani

selamat tinggal
kini tembok besar bak tembok cina
membentang panjang dan tak terbatas
antara kita

Monday, July 11, 2005

sepuluh purnama telah berlalu
menjejaki setiap langkah
menghiba akan setiap kepastian
pada jelaga cintamu kutebar asa

sepuluh purnama telah berlalu
dan tak lagi kurasa asa itu ada
pagi ini ketika burung berceloteh dalam riang kicaunya
pagi ini ketika mentari bersinar lembut pada ujung cahaya ufuk timur
aku menitikkan kembali air mata kegagalan
akan asa membumbung
pada sepuluh purnama lalu saat pertama bertatap

derai air mata tak lagi terkucurkan
sesak dalam setiap hembus napas
kecewa
sakit
perih

kebodohan demi kebodohan selalu terulang
dan aku tak lagi merasakan arti kehidupan hakiki
atas dirimu yang telah melukai
setiap hembus napas yang kubuat untukmu
setiap detik rasa perhatian untukmu
setiap penggalan kata cinta untukmu

biarlah kutenggelam dalam kegelapan arti kecewa semata
sehingga pada saatnya ketika jelaga hitam
tak lagi mengurungiku
aku sudah mampu tersenyum
walau hampa

rasa sakit itu terus mengikuti
kemana aku pergi
malam ini …

TAHUKAH ANDA ?

Mendapati ibu-ibu berpakaian batik merupakan hal langka di Jakarta. Mereka lebih senang berkemeja dan celana panjang karena lebih praktis. Padahal sampai 1950-an kain batik mendominasi busana wanita Indonesia dengan baju kebayanya. Bahkan, para wanita IndoBelanda dan Cina sehari-hari kala itu juga berkain batik dan berkebaya hingga dikenal istilah kebaya encim dengan kain batiknya. Meskipun kini sudah jarang digandrungi para ibu, tapi ratusan koleksi kain batik yang sudah berusia ratusan tahun dapat kita saksikan di Museum Tekstil, Jl Karet Satsuit Tubun (dulu Jl Petamburan) No 4, JakartaBarat. Museum yang diresmikan almarhumah Tien Soehartopada 28 Juni 1976 lalu ini mengetengahkan koleksi kain tradisional dari berbagai daerah Indonesia dengan dominasi kain batik. Sampai tahun 1970-an daerah KaretTengsin dan Setiabudi (Jakarta Pusat) serta Palmerah(Jakarta Barat) menjadi salah satu industri kain batik di ibukota. Sebagian besar industri dan perajin batik itu kini sudah bangkrut. Gedung Museum Tekstil pada mulanya adalah rumah pribadi seorang warganegara Perancis yang dibangun pada abad ke-19. Awal abad ke-19 (1808-1809), Batavia sempat dikuasai Perancis setelah negeri Belanda ditaklukkan Napoleon Bonaparte. Kemudian orang-orang Perancis membangun rumah dan tempat peristirahatan didaerah Petamburan yang kala itu masih merupakan kawasan elit dan jauh dari pusat kota Batavia. Warga Perancis juga banyak tinggal di Batavia. Mereka membuka toko, hotel serta perkantoran di Rijswijk (kini Jl Veteran), Noordwijk (Jl Juanda), danPetamburan yang saat itu dikenal sebagai France Buurt(kawasan Prancis). Tidak diketahui nama warga Perancis yang membangun gedung megah yang ketika baru dibangun berluas dua hektar ini. Hanya disebutkan ia adalah seorang kaya raya dan gedung ini dibangun dengan gaya Islamik yang mencampurkan gaya Eropa dan Timur Tengah serta disesuaikan iklim tropis. Rumah yang berusia lebih satu abad ini sampai 1950-an memiliki tanah luas dibagian belakangnya. Gedung ini pernah dihuni KonsulTurki Sayed Abdul Azis Al Musawi saat Turki masih merupakan Kesultanan Otoman. Konsulat Turki ini menjadi salah satu tempat mengadu bagi orang Indonesiad alam menghadapi kekejaman penjajahan Belanda. Sayed Abdul Azis Al Musawi menikah dengan Siti Rohani yang merupakan puteri pejuang kemerdekaan PangeranSentot Alibasyah yang menjadi anak angkat SultanBengkulu terakhir. Pasangan ini dikaruniai seorang puteri bernama Syarifah Mariam yang kemudian menikah dengan Sayed Abdullah bin Alwi Alatas. Setelah KonsulTurki ini meninggal (1885) rumah tersebut berikut dua buah rumah yang berada di kiri kanannya, masing-masing Jl Petamburan (Jl Karel Satsuit Tubun No 2 dan No 6) dibeli menantunya, Sayed Abdullah. Ia kemudian merenovasinya sebagaimana bentuknya sekarang ini. Menurut Abdullah bin Abbas Alatas (74), saat kakeknya, Sayid Alwi Alatas, menempati rumah barunya itu semangat gerakan Pan Islam tengah berkobar di Jakarta. Bahkan, ia sendiri merupakan salah satu tokoh dari gerakan yang sangat ditentang Belanda ini. Abdullah juga seorang kawan dari Shaikh Mohamad Abduh, murid Sayid Jamaluddin Al-Afghani, pencetus Pan Islam. Kawand ekat lainnya di luar negeri adalah Shaikh Yusufan-Nabhani, mufti Lebanon. Untuk itu Sayed beberapa kali mengunjungi Mesir dan Timur Tengah. Begitu bergairahnya ia membantu gerakan Pan Islam hingga ia mengirimkan empat orang putranya ke sekolah tinggi Turki yang ketika itu masih berbentuk khalifah dan menjadi salah satu pusat gerakan ini. Pada 1916 Sayid menerbitkan majalah Borobudur berbahasa Arab sekaligus sebagai pemrednya. Kakek dari mantan Menlu Ali Alatas dan mantan PM Yaman Selatan, Haydar Alatas, ini juga menyokong penerbitan harianUtusan Hindia, suratkabar pertama berbahasa Melayu dengan pemimpin redaksinya HOS Cokroaminoto. Suratkabar ini lahir sebelum Cokro mendirikan SarikatIslam. Ia juga membantu keuangan Muhammadiyah dan Al-Irsyad ketika kedua organisasi Islam ini didirikan. Selain itu, Sayid juga ikut mendanai Arabithah Alawiyah dan sekolah Jamiatul Kheirnya. Alatas School yang didirikannya di Jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang, (kini kantor kelurahan KebonKacang) merupakan sebuah sekolah Islam modern pertama yang mengajarkan pendidikan agama dan pendidikan Barat. Di kediamannya yang kini jadi Museum Tekstil itu juga pernah digunakan untuk Muktamar NU, seperti diungkapkan tokoh NU KH Mohamad Dachlan. Sayid yang lahir di Pekojan, Jakarta Barat, (1840) ini oleh orang Betawi dijuluki tuan tanah Baghdad. Ia memang salah seorang terkaya di Batavia ketika itu. Konon, ia memiliki tanah dari Pondok Betung di Bintaro hingga ke Pondok Cabe seluas lima ribu hektar. Dirumahnya itu ia sering kali mengumpulkan para pedagang kecil lalu membeli dagangan mereka untuk kemudian disumbangkan kepada orang-orang tak mampu yang banyak tinggal di sekitar tempat tinggalnya. Sayid yangmeninggal pada 1929 dalam usia 89 tahun dimakamkan di pemakaman wakaf Tanah Abang yang oleh Ali Sadikin digusur dan dijadikan rumah susun. Ketika wafat ia meninggalkan 30 ribu buku yang menurut cucunya, Abdullah bin Abbas, dihibahkan ke Madrasah Jamiatul.

Tuesday, July 05, 2005

TAHUKAH ANDA ?

Museum Taman Prasasti merupakan salah satu dari sembilan Museum di bawah pengelolaan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta. Museum ini berlokasi di Jalan Tanah Abang 1 Jakarta Pusat dan menempati lahan seluas 5,5 ha yang merupakan bekas pemakaman orang Belanda. Makam yang dibangun pada tahun 1795 ini dikenal dengan nama Kebon Jahe Kober dan ditutup pada tahun 1975 karena alasan sudah penuh.

Mengingat potensi taman pemakaman ini, maka pemerintah Propinsi DKI Jakarta, melakukan pemugaran serta menata kembali prasasti-prasasti batu nisan terpilih dan mengembangkannya menjadi sebuah Museum Taman Prasasti. Dan diresmikan oleh Gubernur DKI Ali Sadikin pada tahun 1977. Jumlah koleksi yang tersimpan di dalam Museum Prasasti sebanyak 1.409, terdiri dari jenis prasasti bentuk nisan, bentuk perunggu, monumen, piala, kijing, lempengan batu persegi, replika, dan miniatur. Sebagai sebuah museum didalam sistem penataan koleksi disajikan pada sebuah ruang, pada dinding luar (halaman), dan pada kondisi semula yaitu pada lahan pemakaman.

Museum ini menampilkan prasasti nisan dari beberapa nama dan tokoh, antara lain tokoh pendidikan, seniman, ilmuwan, rohaniwan dan tokoh pejuang. Beberapa tokoh bangsa Indonesia yang dimakamkan di Museum Taman Prasasti ini antara lain Miss Riboet (tokoh sandiwara) dan Soe Hok Gie (tokoh mahasiswa). Selain itu, terdapat nama-nama seperti DR. WF. Stutterheim, seorang ahli purbakala yang banyak melakukan penelitian dan penulisan peninggalan masa Hindu dan Budha di Indonesia. DR. H.F. Rool, pencetus gagasan dan pendiri STOVIA (Sekolah Tinggi Dokter Indonesia) yang merupakan cikal bakal berdirinya Fakultas Kedokteran Indonesia. Olivia Mariamne Raffles, isteri Thomas Stamford Raffles (Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang meninggal di "Buitenzorg" Bogor).

Selain nisan, museum Taman Prasasti juga menyimpan kereta jenazah kuno yang dahulu digunakan untuk mengangkut jenazah dari pelabuhan Sunda Kelapa ke makam Kebon Jahe Kober. Kereta jenazah ini ditarik oleh 2-4 ekor kuda, dimana jumlah kuda penarik kereta ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal. Benda koleksi museum juga terdapat lonceng perunggu bertiang besi dengan ketinggian 4 meter yang digunakan untuk membunyikan tanda bahwa jenazah telah tiba di pemakaman. Koleksi yang tidak kalah pentingnya adalah peti jenazah Bung Karno dan Bung Hatta juga disimpan di museum ini. Untuk melengkapi sebagai sebuah Museum Taman Prasasti, di museum ini dibuat berbagai macam miniatur makam dari seluruh propinsi di Indonesia.