Sunday, November 04, 2012

Ukuran - Dalam Sebuah Perspektif Klasik

Ini adalah tulisan saya yang kedua yang dimuat di OWN Magazine #3


Beberapa waktu yang lalu ketika lagi (seperti biasa) minum kopi di salah satu mall di Jakarta, saya bertemu dengan teman baik saya yang sudah lama menghilang dari peredaran.  Sekarang ini katanya dia lagi sibuk membenahi diri agar bisa tampil lebih prima di usianya yang tidak muda lagi.  Saya tertawa walaupun saya tahu bahwa apa yang dikatakannya itu benar dilakukan olehnya. Dari situlah obrolan melanjut membahas banyak hal. Saya tergelitik dan tergelak ketika kami berdua membahas mengenai umur, ukuran baju dan celana. Tampaknya ukuran selalu menjadi hal yang terkadang dibilang tidak penting namun sesungguhnya menjadi hal yang penting dan utama. Kontradiksi dua kalimat “Size matters” dan “Size doesn’t matter” akan selalu terus ada.

Teman saya ini saat minum kopi dan mengobrol, membahas tentang cerita cintanya terakhir. Well, reputasi dia yang patah tumbuh hilang berganti tampaknya masih ada sampai dengan sekarang, itu pemikiran saya pada mulanya. Pada mulanya. Ternyata saya salah.

“Umur adalah sebuah ukuran nyata bagi kita, terutama urusan percintaan yaa,” begitu teman saya bilang. Saya hanya mengangguk saja dan menunggu dia meneruskan ceritanya.  Bagi teman saya ini ternyata  faktor umur ternyata mempengaruhi berbagai macam ukuran dalam kehidupan.

Dia bercerita  bahwa faktor usia menjadi satu tolak ukur dalam mengambil pasangan atau pun dalam hal daya tarik. Dia bilang bahwa semakin kita bertambah usia, semakin terlihat lebih dewasa, lebih berwawasan dan lebih bijaksana tentunya dan yang paling utama lebih stabil dalam hal keuangan. Makanya orang-orang yang sudah berusia, katakanlah, diatas 30 tahun, selalu (tidak selalu) mendapatkan pasangan yang lebih muda. Bagi saya ini pemikiran yang sangat relevan, alamiah, atau bahasa kerennya adalah pemikiran heteronormativitas.

Melihat mimik muka saya yang tidak begitu setuju dengan cara berpikirnya walaupun melihat fakta di sekeliling saya bahwa hal ini benar dan ada, dia kemudian terus melanjutkan obrolannya tanpa memberikan kepada saya kesempatan untuk mengemukakan pendapat. Sebagai orang yang sering menjadi “tong sampah” buat orang lain, saya hanya tersenyum dan kemudian mendengarkan kelanjutan dari obrolannya.

Setelah masalah usia yang  menjadi tolak ukur. Teman baik saya ini kemudian melanjutkan dengan membahas masalah kadar cinta. Bagaimana cinta diukur dalam bentuk sebuah hubungan. Baginya tidak berkeberatan untuk menjadi, lagi, katakanlah, penopang hidup, karena menurut dia ukuran cinta itu bisa dibeli dengan mudah. Kali ini saya memotong pembicaraannya. Saya katakan kepada teman saya itu bahwa cinta itu memang bisa dibeli. Tapi ukuran sebuah cinta murni, cinta tulus, cinta yang tanpa pamrih dan ikhlas itu harus datang dari dalam hati. Saya mungkin termasuk orang yang punya pemikiran konservatif jika berhubungan dengan cinta. Saya katakan pada teman baik saya itu bahwa ketika saya ingin menjalin hubungan dengan seseorang dan ada respon yang sama dari orangnya, maka kejujuran, keterbukaan dalam segala hal adalah tolak ukur cinta yang pertama buat saya. Bukan suatu hal yang mudah memang untuk mendapatkan itu tapi dengan konsisten pada jalannya pasti akan didapat pada saatnya nanti. Teman baik saya itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan tersenyum.

Lalu teman saya ini bertanya mengenai ukuran cinta bagi saya, tentunya dia bertanya ini setelah dia menganalisa dari omongan saya sepanjang ngobrol dengan dia. Saya bilang pada dia bahwa ukuran dalam sebuah perspektif klasik adalah ketika dua orang yang akan menjalin sebuah hubungan dan membuat semuanya menjadi seimbang. Ukuran cinta menjadi seimbang karena proses pendekatan dan proses “take and give”. Ukuran sayang menjadi seimbang karena proses komunikasi yang berjalan lancar. Pertanyaan teman baik saya kemudian yang membuat saya berpikir apakah saya wajar dalam mengatakan pendapat saya itu? Dia bertanya seberapa banyak orang yang memiliki pemikiran serupa saya. Hal ini yang kemudian membuat saya bertanya kepada beberapa orang secara random, hanya untuk mengetahui apakah masih banyak orang yang berpikiran secara konservatif ala saya atau perspektif sudah bergeser?

Saya kemudian bertanya secara “random” kepada beberapa orang yang saya kenal atau saya baru kenal. Ketika saya bertanya mengenai ukuran dalam hal sebuah hubungan percintaan atau bahasa sekarangnya pacaran, berbagai macam jawaban muncul.

A mengatakan bahwa bagi dia ukuran cinta adalah masalah penampilan. Jika dia bisa mendapatkan seseorang yang diperebutkan oleh orang banyak, itulah ukuran keberhasilannya dalam soal cinta, tanpa memandang hati dan perasaannya yang sesungguhnya apakah dia benar suka atau tidak dengan orang itu.

Sementara B mengatakan bahwa ukuran cinta baginya adalah masalah finansial. Tidak perduli orang itu cakap, tidak perduli orang itu gemuk, tidak perduli orang itu dandan senorak apa pun, sepanjang orang itu bisa memenuhi segala kebutuhannya bagi dia itu sudah cukup.

C saat ditanya mengatakan  bahwa ukuran cinta adalah sebuah ukuran absurd, ukuran abstrak karena baginya sepanjang hatinya nyaman, damai dan tentram tidak masalah. Ketika saya mengatakan bahwa nyaman, damai dan tentram itu masuk dalam klasifikasi ukuran perspektif klasik, dia bilang tidak, karena dia tidak mau berhubungan dengan yang terlalu kaya, tidak mau juga berhubungan dengan yang tidak punya apa-apa tapi disisi lain dia tidak mau berbagi.

And the interview goes on and on, ..

Pada akhirnya saya kemudian menyimpulkan bahwasanya ukuran dalam hal percintaan adalah sebuah hal yang perspektifnya bisa dikatakan relatif. Kadarnya dari masing-masing individu tentunya berbeda dan pandangan akan pengertian ukuran pun ternyata ada dalam berbagai hal.

Tapi yang penting tentunya dari itu semua adalah ukuran ketulusan hati dan keikhlasan dalam menjalankan sebuah hubungan dan menerima pasangan apa adanya. Mungkin terdengar klise tapi itu yang saya dapat dari hasil obrolan dengan teman baik saya dan bertanya secara random pada beberapa orang.

Sekarang tinggal bagaimana kita menyikapi diri kita sendiri akan ukuran itu?