Sunday, November 04, 2012

Ukuran - Dalam Sebuah Perspektif Klasik

Ini adalah tulisan saya yang kedua yang dimuat di OWN Magazine #3


Beberapa waktu yang lalu ketika lagi (seperti biasa) minum kopi di salah satu mall di Jakarta, saya bertemu dengan teman baik saya yang sudah lama menghilang dari peredaran.  Sekarang ini katanya dia lagi sibuk membenahi diri agar bisa tampil lebih prima di usianya yang tidak muda lagi.  Saya tertawa walaupun saya tahu bahwa apa yang dikatakannya itu benar dilakukan olehnya. Dari situlah obrolan melanjut membahas banyak hal. Saya tergelitik dan tergelak ketika kami berdua membahas mengenai umur, ukuran baju dan celana. Tampaknya ukuran selalu menjadi hal yang terkadang dibilang tidak penting namun sesungguhnya menjadi hal yang penting dan utama. Kontradiksi dua kalimat “Size matters” dan “Size doesn’t matter” akan selalu terus ada.

Teman saya ini saat minum kopi dan mengobrol, membahas tentang cerita cintanya terakhir. Well, reputasi dia yang patah tumbuh hilang berganti tampaknya masih ada sampai dengan sekarang, itu pemikiran saya pada mulanya. Pada mulanya. Ternyata saya salah.

“Umur adalah sebuah ukuran nyata bagi kita, terutama urusan percintaan yaa,” begitu teman saya bilang. Saya hanya mengangguk saja dan menunggu dia meneruskan ceritanya.  Bagi teman saya ini ternyata  faktor umur ternyata mempengaruhi berbagai macam ukuran dalam kehidupan.

Dia bercerita  bahwa faktor usia menjadi satu tolak ukur dalam mengambil pasangan atau pun dalam hal daya tarik. Dia bilang bahwa semakin kita bertambah usia, semakin terlihat lebih dewasa, lebih berwawasan dan lebih bijaksana tentunya dan yang paling utama lebih stabil dalam hal keuangan. Makanya orang-orang yang sudah berusia, katakanlah, diatas 30 tahun, selalu (tidak selalu) mendapatkan pasangan yang lebih muda. Bagi saya ini pemikiran yang sangat relevan, alamiah, atau bahasa kerennya adalah pemikiran heteronormativitas.

Melihat mimik muka saya yang tidak begitu setuju dengan cara berpikirnya walaupun melihat fakta di sekeliling saya bahwa hal ini benar dan ada, dia kemudian terus melanjutkan obrolannya tanpa memberikan kepada saya kesempatan untuk mengemukakan pendapat. Sebagai orang yang sering menjadi “tong sampah” buat orang lain, saya hanya tersenyum dan kemudian mendengarkan kelanjutan dari obrolannya.

Setelah masalah usia yang  menjadi tolak ukur. Teman baik saya ini kemudian melanjutkan dengan membahas masalah kadar cinta. Bagaimana cinta diukur dalam bentuk sebuah hubungan. Baginya tidak berkeberatan untuk menjadi, lagi, katakanlah, penopang hidup, karena menurut dia ukuran cinta itu bisa dibeli dengan mudah. Kali ini saya memotong pembicaraannya. Saya katakan kepada teman saya itu bahwa cinta itu memang bisa dibeli. Tapi ukuran sebuah cinta murni, cinta tulus, cinta yang tanpa pamrih dan ikhlas itu harus datang dari dalam hati. Saya mungkin termasuk orang yang punya pemikiran konservatif jika berhubungan dengan cinta. Saya katakan pada teman baik saya itu bahwa ketika saya ingin menjalin hubungan dengan seseorang dan ada respon yang sama dari orangnya, maka kejujuran, keterbukaan dalam segala hal adalah tolak ukur cinta yang pertama buat saya. Bukan suatu hal yang mudah memang untuk mendapatkan itu tapi dengan konsisten pada jalannya pasti akan didapat pada saatnya nanti. Teman baik saya itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan tersenyum.

Lalu teman saya ini bertanya mengenai ukuran cinta bagi saya, tentunya dia bertanya ini setelah dia menganalisa dari omongan saya sepanjang ngobrol dengan dia. Saya bilang pada dia bahwa ukuran dalam sebuah perspektif klasik adalah ketika dua orang yang akan menjalin sebuah hubungan dan membuat semuanya menjadi seimbang. Ukuran cinta menjadi seimbang karena proses pendekatan dan proses “take and give”. Ukuran sayang menjadi seimbang karena proses komunikasi yang berjalan lancar. Pertanyaan teman baik saya kemudian yang membuat saya berpikir apakah saya wajar dalam mengatakan pendapat saya itu? Dia bertanya seberapa banyak orang yang memiliki pemikiran serupa saya. Hal ini yang kemudian membuat saya bertanya kepada beberapa orang secara random, hanya untuk mengetahui apakah masih banyak orang yang berpikiran secara konservatif ala saya atau perspektif sudah bergeser?

Saya kemudian bertanya secara “random” kepada beberapa orang yang saya kenal atau saya baru kenal. Ketika saya bertanya mengenai ukuran dalam hal sebuah hubungan percintaan atau bahasa sekarangnya pacaran, berbagai macam jawaban muncul.

A mengatakan bahwa bagi dia ukuran cinta adalah masalah penampilan. Jika dia bisa mendapatkan seseorang yang diperebutkan oleh orang banyak, itulah ukuran keberhasilannya dalam soal cinta, tanpa memandang hati dan perasaannya yang sesungguhnya apakah dia benar suka atau tidak dengan orang itu.

Sementara B mengatakan bahwa ukuran cinta baginya adalah masalah finansial. Tidak perduli orang itu cakap, tidak perduli orang itu gemuk, tidak perduli orang itu dandan senorak apa pun, sepanjang orang itu bisa memenuhi segala kebutuhannya bagi dia itu sudah cukup.

C saat ditanya mengatakan  bahwa ukuran cinta adalah sebuah ukuran absurd, ukuran abstrak karena baginya sepanjang hatinya nyaman, damai dan tentram tidak masalah. Ketika saya mengatakan bahwa nyaman, damai dan tentram itu masuk dalam klasifikasi ukuran perspektif klasik, dia bilang tidak, karena dia tidak mau berhubungan dengan yang terlalu kaya, tidak mau juga berhubungan dengan yang tidak punya apa-apa tapi disisi lain dia tidak mau berbagi.

And the interview goes on and on, ..

Pada akhirnya saya kemudian menyimpulkan bahwasanya ukuran dalam hal percintaan adalah sebuah hal yang perspektifnya bisa dikatakan relatif. Kadarnya dari masing-masing individu tentunya berbeda dan pandangan akan pengertian ukuran pun ternyata ada dalam berbagai hal.

Tapi yang penting tentunya dari itu semua adalah ukuran ketulusan hati dan keikhlasan dalam menjalankan sebuah hubungan dan menerima pasangan apa adanya. Mungkin terdengar klise tapi itu yang saya dapat dari hasil obrolan dengan teman baik saya dan bertanya secara random pada beberapa orang.

Sekarang tinggal bagaimana kita menyikapi diri kita sendiri akan ukuran itu?

Tuesday, October 02, 2012

Rasa Sayang dan Pilihan


Perbincangan mengenai masalah percintaan tidak akan pernah habis dibahas. Mulai dari jatuh cinta, patah hati, putus-sambung, perselingkuhan, adalah pembahasan yang selalu sedikit banyaknya mencakup di dunia percintaan.

Beberapa hari lalu saya bertemu dengan salah seorang teman baik saya, teman yang sudah saya anggap adik sendiri malah walaupun mungkin dulu pernah ada cerita antara kita dan tidak berlanjut karena satu pihak tidak merespons atas feeling yang sama J , ini bukan curcol tapi cerita sebenarnya.

Pembicaraan umum terjadi ketika saya bertemu dengannya, maklumlah sudah hampir dua atau tiga tahun tidak bertemu dan itu pun dengan kecanggihan teknologi kami masih suka berkomunikasi via social media ataupun alat komunikasi lainnya seperti bbm atau sms. Tapi tentunya rasanya sangat berbeda ketika kita bertemu langsung dan bicara berhadapan, ada fenomena tersendiri.

Tadinya pembicaraan seperti layaknya orang yang sudah lama tidak bertemu berkisar tentang seputaran kehidupan masing-masing dibumbui dengan candaan tentang masa lalu. Lama-lama pembicaraan itu berkisar tentang seputaran dunia cinta.

Sebagai anak muda yang mulai menanjak karirnya dan juga mulai banyak kegiatannya, teman baik saya ini masih punya waktu untuk memikirkan dunia cinta. Dunia yang memang terkadang didamba atau malah dibenci oleh sebagian orang. Dia punya cerita panjang tentang hubungannya dengan seseorang yang notabene saya pun mengenalnya. Putus nyambung adalah bagian dari cerita cintanya dan kedalaman akan makna sayang dan cinta menjadi hal utama dari dirinya yang akhirnya membuat dia tidak bisa terus melanjut atau dalam bahasa pergaulan sering disebut move on.

Apa yang menjadi hal yang membuat dia tidak bisa melanjut ? Adanya harapan bahwa semuanya akan kembali seperti dulu, saat baru jadian, saat semua hal indah tercipta, berbagi dalam suka dan duka, Intensitas pertemuan yang terjadi hampir setiap hari. Percakapan yang terkadang perlu atau tidak perlu. Banyak hal yang membuatnya kemudian merasa masih ada setitik asa untuk bisa kembali bersamanya.

Hidup terlalu indah untuk hanya berhenti pada satu titik. Binar ceria pada mata yang tersenyum acap kali bercerita atau mendengar seseorang menyebut namanya adalah hanya sebagian kecil dari hal besar akan rasa yang masih dimiliki olehnya.

Belum lagi hal-hal kecil yang mungkin menurut kita adalah hal-hal biasa, perhatian-perhatian umum tapi menurutnya adalah sesuatu yang bisa mengembalikan apa yang pernah hilang.

Ada rasa miris mendengar itu semua, miris karena sesungguhnya teman baik saya ini bisa melanjut melangkah dan menyongsong sebuah cinta baru dengan orang baru dan suasana baru. Tapi untuk sementara dia menolak itu dan hanya terus berharap pada satu titik yang dia sendiri sebenarnya tahu bahwa itu tak lagi mungkin dilanjutkan.

Selain rasa miris, saya merasa bahwa ini sepenggal cerita yang bisa membuatnya semangat. Kenapa semangat? Karena setiap kali dia bercerita, dia menjadi orang yang berbeda, menjadi dia yang saya kenal dulu waktu pertama kali saya bertemu.

Hidup memang pilihan dan sebagai individu yang menjalaninya, kita memang punya hak untuk memilih langkah yang kita jalani.

Saya tidak mengatakan bahwa apa yang dilakukannya salah. Sebagai teman baik, saya hanya memberikan pandangan dan pendapat menurut saya karena saya ingin dia mendapatkan yang terbaik dalam kehidupannya, tapi itu juga menjadi hak prerogatif dia untuk menerima pandangan dan pendapat saya.

Bahwa kemudian saya mengatakannya padanya langkah yang dia ambil hanyalah menghambat kesempatan yang datang kepadanya dan mungkin lebih baik serta menghalanginya untuk bisa maju dalam kehidupan percintaannya, itu dia dengar tapi belum tentu juga dia mau menerima sepenuh hatinya dan menjalankannya. Lagi-lagi ini soal hidup adalah sebatas pilihan.

Saya percaya tidak hanya dia saja yang pernah mengalami hal seperti ini, sewajarnya banyak orang yang begitu sayang, begitu cinta dan begitu berkesan saat dia berpacaran sampai kemudian akhirnya ketika hubungan itu harus berakhir, seolah dunia menjadi hancur dan tak lagi ada semangat untuk mencari kehidupan baru. Terdengar klise dan berlebihan memang tapi demikianlah yang terjadi.

Pada akhirnya saya bisa menyimpulkan bahwa rasa sayang itu terkadang melebihi rasa cinta sehingga biasanya long lasting. Seburuk apa pun perilaku mantan pasangan terkadang kita masih memiliki sedikit rasa sayang padanya.

Di akhir obrolan saya bertanya pada teman baik saya itu apa yang sesungguhnya dia rasakan. Rasa sayang atau rasa cinta atau rasa keduanya atau rasa lain?

Teman baik saya itu hanya tersenyum dan berpamitan.


Wednesday, September 19, 2012

Gubernur dan Seni.

Dalam tiga hari mendatang, Jakarta akan kembali menggelar pesta rakyat untuk mereka yang memiliki kartu tanda penduduk Jakarta. Pemilihan Kepala Daerah untuk Daerah Khusus Ibukota akan kembali di gelar untuk putaran ke 2.

Berbagai macam bentuk kampanye telah dilakukan oleh masing-masing calon gubernur untuk lima tahun mendatang. Berbagai macam dalih, siasat, strategi telah diluncurkan oleh para tim sukses calon gubernur. Kota yang tadinya (atau sudah dan selalu) tenang kembali hiruk pikuk. Mulai dari bentuk nyata kampanye, poster yang digelar dimana-mana yang menjadikan kota menjadi lebih kotor dan sosial media yang menjadi ajang saling menjatuhkan dan saling (mungkin) fitnah antara satu calon dengan calon lainnya.

Ketika ditanya oleh beberapa teman siapakah yang akan menjadi jagoan saya dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta, saya mengatakan pada mereka bahwa saya tidak memilih. Bukan berarti golput, tetapi lebih kepada saya pemegang KTP Jawa Barat.

Bagi saya yang sudah tinggal di Jakarta semenjak tahun 1990, perkembangan kota terasa sekali. Mall yang tadinya hanya satu dua di beberapa area, kini menjamur layaknya stall kios Mak Icih yang ada di mana-mana. Dari tidak ada Trans Jakarta sampai entah sekarang sudah sampai di koridor berapa. Dari mulai rencana pembangunan monorail Cinere - Kota sampai tiang pancangnya berdiri dan menganggu estetika kota. Semua itu saya rasakan walau saya sempat meninggalkan ibukota selama hampir empat tahun dan bekerja di negeri orang.

Yang menggelitik bagi saya dari semua rangkaian kampanye dan persiapan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta Raya ini adalah ketika tiga hari lalu saya datang untuk menonton sebuah konser musik.

Konser Musik ini diadakan di sebuah bangunan yang sesungguhnya ketika dibangun pada tahun 1962 oleh Bung Karno sebagai tempat untuk melaksanakan pertandingan olah raga tenis dalam ruangan, atau bahasa yang lebih dikenal di kalangan masyarakat Jakarta pecinta konser, bangunan ini bernama Tennis Indoor.

Sungguh suatu hal yang sangat miris, betapa Jakarta sebagai ibukota negara yang sudah sedemikian maju dibanding berapa puluh tahun lalu, masih tidak punya sebuah gedung yang patut dijadikan sebagai gedung pertunjukan yang layak untuk dipakai dengan segala fasilitasnya yang up to date.

Taruhlah saat ini Jakarta punya JCC, Teater Jakarta, Teater Kecil, GKJ. Tapi kenapa setiap ada pertunjukan musik dalam kategori pertunjukan besar atau bersifat konser jarang dilaksanakan ditempat-tempat tersebut?

Harga sewa menjadi hal utama. Pertimbangan lain adalah lokasi yang mungkin dianggap kurang strategis. Gedung pertunjukan bagus belum tentu punya fasilitas penunjang yang bagus pula. Contohnya adalah Teater Jakarta dan Teater Kecil yang berlokasi di Taman Ismail Marzuki. Jarang ada yang mau memakai konser musik disitu karena pertimbangan parkir dan padatnya area sekitar sehingga menjadikan para penonton tidak nyaman atau pihak penyelenggara merasa jika mengadakan di tempat itu perlu biaya ekstra untuk pengamanan dan parkir dan lain-lain.

Begitu banyak gedung yang berubah fungsi dan begitu banyak juga gedung-gedung tua yang sesungguhnya jika di renovasi bisa menjadi suatu tempat pertunjukan menarik.

Semoga Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya yang baru akan bisa lebih memperhatikan tentang estetika kota, kegunaannya dan bisa menjadikan Jakarta sebagai kota yang dikangenin, yang didamba dan dibanggakan.



Sunday, September 02, 2012

Persahabatan; kolektif memori manis dan pahit

Belakangan ini entah kenapa begitu banyak hal-hal yang menyangkut persahabatan yang terlintas dalam kehidupan saya. Entah itu berupa film, cerita yang lagi dibaca atau kejadian nyata yang dialami dan diceritakan orang kepada saya.

Perjalanan hidup selama 40 tahun banyak sekali membuahkan sahabat yang datang silih berganti. Ada yang terus sampai sekarang dan ada yang hilang dan ketika bertemu kembali keadaan sudah berubah tidak lagi seperti dulu.

Mungkin kali ini saya cerita tentang orang-orang yang pernah singgah dalam kehidupan saya, tapi setelah saya pikir, ada sisi miris dan giris yang kemudian membuat saya untuk tidak jadi menceritakan itu.

Dari TK saya sudah punya teman-teman baik, teman yang selalu bersama dalam setiap kesempatan sampai kemudian kami masuk SD dan mulai berpisah untuk urusan belajar mengajar tapi masih bersama ketika waktu main sore tiba. Satu demi satu sahabat saya tersebut meninggalkan saya, bukan karena ada masalah tapi karena ayah kami adalah tentara yang harus siap sedia untuk dipindah setiap saat. Dari lima orang yang selalu bersama, kini tak satu pun saya pernah berjumpa. Yang saya tahu, satu orang sudah mendahului dan sisanya entah kemana, ada yang sudah menikah, ada yang saya tidak ketahui kehidupannya lagi. Era kemajuan teknologi pun tidak membantu banyak ketika saya berusaha mencari keberadaan mereka.

Di SD, saya tidak punya teman baik banyak, satu dua orang yang kiranya memang mereka adalah teman baik, itu pun karena faktor bapaknya sama-sama tentara dan juga kebetulan rumahnya tidak berjauhan. Dari semua teman-teman di SD, hanya ada tiga orang yang sampai sekarang saya merasa bahwa mereka begitu dekat. Kami masih suka kontak via bbm, terkadang jumpa untuk minum kopi bersama. Dinamika kehidupan mereka pun saya ikuti.

Memasuki masa SMP, inilah masa dimana saya sulit menemukan seorang teman baik. Setelah tiga tahun berjalan di SMP saya menyadari bahwa teman baik saya hanya satu orang, sampai sekarang dia masih suka bertemu, ngopi, makan dan terkadang ngobrol banyak hal. Kehidupan yang berbeda antara saya dan teman-teman di SMP mungkin yang menyebabkan saya sulit memiliki teman baik. Walaupun pada saat sekarang ketika teman-teman SMP berkumpul dan sesekali saya datang, beberapa diantara kami menjadi lebih dekat dan berhubungan erat, tapi tentunya memiliki arti yang berbeda dengan yang memang sudah dekat semenjak di SMP dulu.

Di SMA saya punya satu grup yang selalu bersama semenjak kami duduk bersama di bangku kelas II. Walaupun saya adalah satu-satunya laki-laki di grup itu namun saya punya kenyamanan tersendiri ketika kumpul dengan empat orang lainnya. Kini setelah lulus SMA dan 20 tahun kemudian bertemu, masing-masing sudah memiliki jalan dan pola pemikiran sendiri dan terkadang tentunya pasti berbeda. Dari satu grup itu saya hanya bisa akrab dengan dua orang saja sekarang. Terasa ada jarak yang membentang. Lagi-lagi saya berpikir bahwa ini adalah karena zaman yang berubah dan mengakibatkan pola pikir masing-masing individu berkembang sesuai dengan ruang lingkupnya berada.

Setelah lulus SMA dan kemudian bekerja, saya memiliki teman baik dari beberapa tempat kerja yang pernah saya masuk dan bekerja di dalamnya. Persahabatan di tingkatan tempat kerja ini lebih berisiko buat saya. Kedewasaan dalam berpikir dan bertindak menjadi hal utama. Kejujuran dan kebesaran hati adalah hal mendasar yang perlu ada jika ingin persahabatannya jalan terus. Semakin dewasa tentunya problema semakin banyak dan bertumpuk. Cara penyelesaian setiap masalah adalah langkah pendewasaan dan pengujian akan ketulusan sebuah persahabatan.

Hampir seminggu lalu saya diundang untuk menonton premiere sebuah film Indonesia. Dalam film itu diceritakan bagaimana sebuah persahabatan terjalin secara perlahan sejak mereka masih kanak-kanak sampai kemudian mereka beranjak dewasa. Persahabatan yang tulus, tanpa pamrih dan tanpa pretensi apa-apa. Melihat film itu membuat saya kemudian mencoba mengingat semua memori yang saya ingat dan miliki mengenai persahabatan dari semenjak saya kenal arti kata teman baik sampai sekarang.

Iya, teman datang silih berganti tetapi sahabat tetap di hati. Dari kalimat itu saya menyadari bahwa saya hanya memiliki teman baik atua sahabat yang tidak banyak, bahkan sepuluh jari pun masih lebih jika saya diminta menghitung atau menyebut nama para teman baik yang saya miliki.

Kenangan demi kenangan pahit dan manis bermunculan seperti sebuah kumpulan memori yang enggan untuk pergi dari ingatan dan tersimpan rapi di sudut paling dalam. Hal yang paling sulit adalah ketika berusaha untuk ikhlas dan menerima bahwa teman-teman yang pernah kita anggap sebagai teman baik sekarang tetiba seperti orang lain, seperti orang yang tidak kita kenal, seperti orang yang tak mau lagi bersahabat.

Bagi saya nilai sesungguhnya dari sebuah persahabatan adalah ketulusan yang mendalam, ketika tidak ada lagi hitung-hitungan, ketika tidak ada lagi pamrih, ketika tidak ada lagi rasa bersaing.

Namun dalam saat seperti sekarang ini, seberapa banyak orang yang bisa kita temui dan dengan bangga kita katakan ini adalah sahabat tanpa embel-embel apa pun?  Semakin sedikit.

Kini, kirimkanlah sms / bbm / line / what'sapp atau bicara langsung pada orang yang kau anggap teman baik dan katakanlah bahwa kau menyayanginya dan kau akan selalu ada kapan pun dibutuhkan.




Wednesday, August 29, 2012

Sejarah, kenangan dan komersialisasi

Masa kecil adalah masa yang terkadang buat sebagian orang adalah masa yang paling indah. Banyak kenangan dan banyak hal yang sekiranya manis untuk diingat.

Masa kecil saya dihabiskan di komplek tentara di Bandung, tempat keluarga kami tinggal karena bapak adalah anggota angkatan darat yang memulai karirnya dari Tentara Pelajar masa perjuangan dulu dan kemudian masuk dalam satu kesatuan bernama Kavaleri dan sampai dengan pensiun dan wafatnya mendedikasikan hidupnya di kesatuannya tersebut.

Saya bukan orang yang popular di kalangan teman-teman masa kecil saya. Saya hanya punya teman beberapa yang sampai sekarang atau katakanlah sampai saya memulai karir saya bisa saya katakan itu teman. Tapi bukan itu yang akan saya bahas sekarang. Yang akan saya bahas sekarang adalah bagaimana tempat tinggal keluarga kami sekarang dan situasinya.

Pada tulisan sebelumnya saya membahas mengenai Lebaran yang baru lalu yang saya habiskan waktunya di tempat saya tinggal pada masa kecil. Ya, saya pulang ke komplek tempat kami tinggal karena ibu saya masih tinggal disitu.

Komplek Kavaleri adalah sebuah komplek ksatryaan pada masanya atau katakanlah markas besar yang jadi satu dengan komplek perumahan para perwira tinggi, perwira menengah, prajurit dan sipil.

Komplek ini memiliki bangunan tua yang bagi saya sebagai pecinta sejarah dan bangunan tua tentunya memiliki nilai historis yang tidak akan pernah terlupakan. Bangunan markas dan seluruh isinya merupakan tempat para tentara bertugas pada jam-jam kantor dan tempat anak-anak bermain pada sore harinya.

Lapangan bola, lapangan basket, lapangan tenis, tempat latihan karate, tempat latihan berkuda, semua ada disitu dan masing-masing anak-anak pada masanya sering bermain di tempat yang menjadi favoritnya.

Kemarin ketika sedang mengobrol dengan beberapa kakak saya, saya mendapatkan kabar bahwa sesungguhnya Markas Besar Pusat Kesenjataan Kavaleri ini telah dibeli oleh sebuah mall yang letaknya tepat didepan komplek Kavaleri tersebut. Menurut kabar berita nantinya komplek ini akan dijadikan lahan perluasan mall tersebut dan juga area parkir.

Terkejut?

Saya tidak hanya terkejut tapi geram. Tapi tentunya saya tidak memiliki kekuasaan apa-apa untuk merubah keputusan itu dan juga membatalkannya. Saya ini hanya orang biasa, anak pensiunan perwira menengah yang secara kebetulan suka sejarah dan  bangunan tua.

Sebegitu murahkah harga sebuah kenangan?

Dulu saya terkejut ketika lokasi Masjid Saladdin yang menjadi masjid kami bersama jika Shalat Jumat ataupun Shalat Tarawih kemudian berubah menjadi McDonald's dan masjid pindah lokasinya ke belakang SMP Kavaleri dengan lokasi lebih kecil :(.

Kemudian berikutnya adalah Gedung Melati yang menjadi kebanggaan saya dan teman-teman masa kecil saat bisa tampil di panggungnya walaupun hanya untuk pertunjukan kabaret 17 Agustus atau memperingati Ulang Tahun Kavaleri berubah fungsi menjadi gereja. Bukan karena gerejanya yaa tapi lebih kepada pihak Kavaleri yang memberikan kontrak kepada pihak gereja selama kabarnya 20 tahun.

Idealisme, kenangan manis, sejarah, bangunan tua, semua nilai itu hilang demi komersialisasi.

Mungkin sekarang tinggal menunggu waktunya ketika bangunan milik Belanda yang dibangun dengan kokoh hilang lenyap tanpa ada sisa dan berganti dengan sebuah bangunan besar berisi toko-toko dan tempat makan. Sejarah tinggal sebuah kata tanpa arti apa-apa lagi.

Monday, August 27, 2012

Lebaran dan Kenangan

Lebaran kemaren saya pulang seperti biasanya, entah kenapa kali ini kayaknya agak lama. Lebaran di hari Sabtu dan hari Selasa saya sudah berada di rumah ibu saya, rumah tempat saya menghabiskan masa kecil saya dari saya lahir hingga lulus SMA.

Rumah ini adalah sebuah rumah dinas tentara tipe H. Sebuah rumah kecil yang acap kali membuat saya berpikir bagaimana dulu saya dan semua kakak saya menghabiskan waktu di rumah ini, kami bertujuh plus bapak dan bunda. Rumah ini efektifnya hanya punya 2 kamar. Hebatnya semua bisa diatur dengan dua tempat tidur bunk bed atau istilahnya tempat tidur tingkat.

Rumah ini tidak mengalami renovasi yang berarti semenjak pertama kalinya orang tua saya pindah ke rumah ini di tahun 1963. Sejak tahun itu sampai sekarang bunda tinggal di rumah ini tanpa pernah sedikit pun pindah rumah. Ketika almarhum bapak dapat jatah rumah dinas di beberapa tempat, bunda selalu menolak ajakan almarhum bapak untuk pindah ke rumah dinas yang didapatnya.

Jadilah rumah ini rumah kenangan bagi kami sekeluarga.

Ketika pulang kemarin untuk berlebaran bersama keluarga, entah kenapa ada sisi sentimentil dan romantisme yang muncul dalam diri saya. Rumah itu hanya tinggal bunda saja yang tinggal. Kami semua kakak beradik sudah tidak lagi tinggal di sana. Ketika malam tiba dan saya duduk di teras kemudian merokok dan menikmati secangkir kopi sambil ngobrol dengan ponakan, saya melihat ke sekeliling area rumah yang terlihat sangat sepi sekarang ini.

Dulu ketika saya masih tinggal di situ sampai dengan saya meninggalkan rumah itu, malam-malam di bulan Ramadhan dan menjelang Lebaran, suasana jalan sangat hingar bingar. Teman-teman kami kakak beradik yang notabene adalah tetangga-tetangga kami datang dari luar kota dan bercengkrama, entah di ujung jalan atau terkadang di depan rumah kami sambil mengobrol ini dan itu. Terkadang di sore hari kami berkumpul di lapangan basket di dalam kompleks sambil menunggu waktu buka puasa.

Kini suasana itu tinggal kenangan, hampir semua teman kami di sana tak lagi ada, bukan karena mereka  meninggal (walaupun ada beberapa yang sudah meninggal) tapi karena mereka sudah pindah dan tak lagi tinggal di rumah dinas itu.

Jalanan begitu lengang, tak ada suara orang mengobrol sedikit pun. Semakin mengarah ke dalam semakin sunyi suasananya. Entah kenapa saya melihat ini sebagai sesuatu yang miris. Kenangan hanyalah tinggal kenangan.

Shalat Ied di lapangan di area perkantoran yang diberi nama Lapangan Apel karena tempat apel pagi para perwira dan prajurit tak lagi seperti dulu. Banyak yang tidak lagi saya kenal. Saya seolah shalat di satu daerah yang baru. Menatap pada area seputar lapangan dimana dulu saya dan teman-teman menghabiskan sore dengan bermain perang-perangan dan petak umpet.

Kembali ke rumah selepas shalat Ied dan saya merasakan kembali suasana yang berbeda. Tak ada lagi kumpulan anak-anak / remaja yang berkeliling dari satu rumah ke rumah lain untuk sekedar mengucapkan selamat hari raya dan bermaaf-maafan.

I guess time  has changed :)




Saturday, July 21, 2012

Rasa syukur dan pertemanan - Sebuah perjalanan hidup

Hari ini dilalui dengan sedikit santai. Mungkin karena memang tidak begitu banyak janji yang harus ditepati. Berangkat dari rumah sekitaran siang menjelang sore, drop barang di kantor teman dan kemudian pergi berjuang menembus kemacetan menuju pusat kota. Maklum tinggal di daerah pinggiran membutuhkan waktu lebih lama dari sekedar satu atau dua jam. Macetnya menjelang puasa hari pertama tampak menggila dibanding hari-hari lainnya.

Saya datang agak terlambat ke tempat makan malam yang dijanjikan. Macetnya Jakarta membuat semua yang terkadang sudah direncanakan dengan baik malah berjalan tidak baik atau malah bisa membuat berubah rencana.

Ini sepertinya reunian satu tahun sekali. Ketemu dalam dunia maya atau jejaring sosial terlihat berbeda dengan ketika bertemu secara langsung. Pembicaraan yang sekiranya menjadi sebuah pembicaraan basa-basi terkadang diperlukan. Saya adalah orang yang boleh dikatakan ada dalam level paling rendah dalam dunia pendidikan ketika bertemu teman-teman saya dari grup ini. Well, dari semua grup pun tampaknya level pendidikan saya yang paling rendah. Ada rasa miris pada diri saya sendiri ketika semua bicara tentang proses melanjutkan kuliah atau proses belajar ke jenjang yang lebih tinggi. Saya masih punya keinginan untuk itu tapi mungkin *kembali saya menyalahkan* kondisi yang tidak memungkinan saya untuk bisa seperti mereka-mereka.

Saya lebih banyak diam dan sibuk dengan pikiran saya sendiri. Mungkin dalam etika pergaulan itu salah dan tidak baik, tapi terus terang aja saya tidak bisa mengikuti arah pembicaraannya. Lagian dunia kerja yang sangat berbeda membuat saya harus menjadi seorang pengamat saja.

Saya memaknai semua persahabatan dan pertemanan yang terjadi, yang ada dan yang kemudian terkadang hilang karena banyak hal dan banyak faktor. Kalau kata film Arisan 2 kurang lebih: Teman datang silih berganti. Sahabat tetap. Iya, saya setuju itu, kehidupan pun berjalan terus dengan segala dinamikanya.

Ada rasa rindu untuk kembali bercengkrama, bercanda, bersenda gurau dengan orang-orang yang dulu pernah dekat menjadi sahabat baik namun kemudian hilang atau tak lagi kenal. Namun sebagai manusia yang terus belajar untuk menjadi seorang yang bijaksana, saya tidak pernah menyesali atas apa yang terjadi. Kesalahpahaman sering kali terjadi dan tergantung pada manusianya untuk mensikapinya seperti apa.

Ketika semua sudah pada jalannya, ketika semua sudah mengambil sebuah sikap atas sebuah pertemanan, yang bisa saya lakukan adalah menghormati keputusan tersebut dan melanjutkan perjalanan hidup saya untuk menjadi manusia yang lebih baik. Mungkin terdengar klise, mungkin terdengar sangat naif namun itulah yang saya jalani sekarang. Roda tidak selamanya diatas dan roda pun tidak selamanya berada dibawah.

Saya mensyukuri nikmat Tuhan atas segala yang telah diberikan oleh-Nya baik itu berupa kesenangan atau kepahitan karena saya percaya bahwa Tuhan selalu bekerja dengan cara-Nya yang misterius.

Bisa ada pada posisi saya sekarang ini bukanlah sebuah perjalanan yang mudah. Betapa saya dicemooh dan dihilangkan dari daftar pertemanan oleh beberapa orang, tapi saya bersyukur masih ada teman-teman yang mau menerima saya apa adanya. Pada merekalah saya berterima kasih dan bersyukur bahwa mereka sangat menghargai pertemanan itu.

Inti dari kejadian-kejadian hari ini adalah saya bersyukur bahwa saya masih bisa terus melanjutkan perjuangan hidup dan tanpa malu mengatakan bahwa saya bisa ada pada posisi sekarang karena usaha, doa dan juga bantuan teman-teman baik.

Ah, meracaunya semakin ngga jelas. Tampaknya udah waktunya sahur. Mari!

Friday, July 20, 2012

Rasa Syukur - sebuah ucap tak pernah cukup

Ramadhan sudah memasuki bulannya. Alhamdulillah masih diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa untuk merasakan nikmatnya bulan Ramadhan tahun ini.

Begitu banyak kejadian dan waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa setengah tahun sudah berjalan dan kehidupan terus ada dengan dinamikanya naik dan turun. Yang paling utama adalah rasa terima kasih pada Allah SWT yang telah memberikan begitu banyak kemudahan dan juga nikmat tak terkira.

Seperti layaknya roda yang berputar tidak akan terus diatas, dengan rasa syukur yang tak pernah henti kini saya bisa  merasakan nikmat hidup yang telah diberi oleh-Nya. Iya, nikmat hidup.

Semoga di bulan Ramadhan ini bisa diselesaikan dengan sempurna dan tanpa ada halangan yang berarti. Semoga di bulan Ramadhan ini Allah memberikan hikmah dan kepercayaan lebih kepada saya untuk bisa menjalankan hidup dengan lebih bermakna dan bermanfaat bagi banyak orang.

Semoga. Aamiin!

Thursday, March 01, 2012

01.03.2012 -- Duta Botani

Beberapa waktu lalu saya main ke kantor teman baik saya. Biasanya kalo saya lagi di sekitaran kantornya dan saya lagi menunggu waktu ke meeting berikutnya, pasti mampir, lumayanlah buat ngademin badan dan tidak menambah bau matahari plus juga kan ada sambungan internet gratis, wifi-nya lumayan kencang di kantornya.

Lagi asyik menjelajah dunia maya tiba-tiba teman baik saya ini memanggil saya untuk ngelihat salah satu photo hasil karyanya (dia punya pekerjaan part time sebagai photographer). Saya menghampiri mejanya dan kemudian melihat photo yang di-shoot olehnya. Yang membuat saya terintrik untuk mengetahui lebih jauh bukanlah pose dari sang model yang ada di layar computer tapi lebih kepada keterangan dari photo tersebut. Di keterangannya ditulis “Duta Botani.”

Saya menanyakan kepada temen baik saya itu apa yang dimaksud dengan Duta Botani. Temen baik saya itu kemudian tersenyum geli dan dia tidak menjelaskan, dia hanya minta saya untuk browsing dan melihat apa yang dimaksud dengan Duta Botani.

Pemikiran pertama yang muncul di otak saya ketika saya membaca kata Duta Botani adalah bahwa ini semacam ajang pemilihan seperti Abang None Jakarta atau mungkin Putra Putri Bahari atau Mojang Jajaka Parahyangan. Saya pikir ini adalah pemilihan untuk menjadi duta dari Kebun Raya Bogor. Ternyata salah!

Disebutnya sebagai Botani Ambassador sebenerrnya instead of Duta Botani. Bagi saya sih ngga masalah apa yang menjadi penggunaan nama atau kata walaupun mungkin seharusnya lebih menitikberatkan kepada penggunaan kaidah bahasa Indonesia.

Ketika saya melihat ke website yang juga membuat saya terkejut karena ternyata event ajang pemilihan ini memiliki websitenya sendiri. Pada point tujuan dari diselenggarakannya ajang pemilihan inilah kemudian saya menjadi jelas dan ada keinginan untuk berkomentar tapi disisi lain berusaha untuk mengerti bahwa setiap institusi pasti punya pembelaannya sendiri.

Tujuan dari diadakannya pemilihan Botani Ambassador ini adalah untuk mencari duta bagi pusat pembelanjaan dan gaya hidup terbaik di kota Bogor. Inilah yang saya bilang menjadi salah kaprah buat saya. Seandainya saya tidak melihat lebih jauh dan membuka websitenya, selama itu saya akan berpikir bahwa ini adalah ajang pemilihan bagi para generasi harapan bangsa yang akan mempopulerkan keindahan dan kebesaran Kebun Raya Bogor.

Disebutkan juga bahwa program ini akan lebih mendekatkan integritasinya pada tenant, pengunjung, masyarakat dan kota Bogor. Pertanyaan saya berikutnya adalah sejauh mana integritasi yang dimaksud bisa berjalan dan bisa lebih benar-benar terintegritas? Belum lagi kategori dari pemilihannya adalah pencarian bakat dan hiburan. Lalu apakah integritas bisa dilaksanakan tanpa adanya “brain”? Bukankah untuk menjadi penghibur yang handal dan bakat yang kuat harus dilandasi oleh pemikiran yang sederhana namun berkelas?

Mungkin saya harus berpikir lebih positif dan lebih menghargai saja apa yang sudah dilakukan oleh panitia yang notabene sudah melakukan pemilihan ini selama 6 tahun berturut-turut dan mungkin selama ini tidak pernah ada yang memprotes ataupun menyatakan keberatannya.

Mungkin nantinya setelah tahun ke 10 dan Kota Bogor tidak lagi diributkan oleh masalah GKI Yasmin, pemilihan ini akan menjadi sesungguhnya pemilihan dari Duta Botani untuk Kebun Raya Bogor dan mewakili Kota Bogor dalam promosi pariwisatanya.

Semoga!

Friday, January 20, 2012

40 is the new 20. Salah kaprah!

Kata sebagian orang umur 40 itu seperti umur 20. Yaa bahasa Inggrisnya adalah 40 is the new 20. Dan terus terang aja gue bias dengan hal itu dan yang bikin gue bias adalah apanya yaa yang berasa menjadi 20?

Yang bikin gue ngeri adalah 20 untuk urusan masalah hati, sensi dan kelabilan jati diri dan justru menjelang usia 40 gue merasa bahwa semua itu udah gue lewati. Gue malah udah yakin dengan jalan hidup yang gue ambil.

Waktu kemaren gue mau ulang tahun yang ke 40, beberapa orang bilang bahwa usia 40 adalah merupakan cetak biru dari kehidupan kita selanjutnya. Dan gara-gara omongan itu waktu pas hari-nya gue ulang tahun, gue jadi terus berpikir akan setiap langkah yang gue ambil. Ngeri aja rasanya kalo semua langkah-langkah gue pada hari itu adalah merupakan langkah-langkah gue selanjutnya.

Di umur 40 ini dan belum juga sebulan gue berumur 40 (baru 40 tahun 25 hari) gue merasa kok hari-hari gue seperti gue naik roller coaster, begitu kerasa naik turunnya. Di satu sisi gue dikasih kemudahan ini dan itu dan disisi lain gue merasa jalan gue melambat dan gue punya beberapa masalah krisis diri. Emejing kan?

Gue merasa bahwa gue semakin sensitive dan itu bukan pertanda baik. Gue kemaren-kemaren sebelum umur gue 40 udah belajar untuk let it go atas apa yang terjadi dan berusaha ikhlas terus sekarang kenapa yaa gue kok berasa banyak hal-hal sepele menganggu pemikiran dan juga perasaan gue.

Belakangan ini gue merasa gue ngga dihargai atas apa yang gue kerjakan dan gue merasa bahwa gue hanyalah sebagai obyek penyerta saja dalam kegiatan. Gue tau kalo itu adalah sebuah sikap yang salah dan gue jengkel karena gue ngga bisa nahan diri dan terlebih lagi nahan emosi.

Harusnya sih gue yang proaktif bertanya tentang perkembangan pekerjaan tapi ini gue merasa bahwa banyak hal yang gue ngga tau dan gue ngga diinfo. Tapi bukankah untuk menjadi satu team work itu harus saling terbuka dan berkomunikasi dengan baik?

Bukan sebuah justifikasi yang gue ajukan disini tapi hanya sekedar apa yang gue rasa. Gue berusaha untuk menjadi pemain tim yang baik dan untuk mentolerir semua rasa yang gue punya gue pikir ada baiknya gue hanya stik pada apa yang menjadi pekerjaan gue.

Ketika gue dulu terbuang gue sangat bercita-cita untuk bisa lebih maju dari sekarang dan gue tahu bahwa dengan sikap sensi dan main perasaan yang ngga jelas ini semuanya hanya akan menghambat gue aja.

Umur 40 beneran adalah umur 20 dalam satu era baru dan gue berharap bahwa itu akan tetap begitu tapi untuk hal mungkin percintaan sehingga bisa lebih menggelora lagi *aiiisssh bahasa gue*.

Anyway, gue pikir cukup sudahlah gue bertindak seperti ini, gue memang harus melakukan sebuah penglihatan diri di kaca dan kemudian mempercantik eh mempercakep diri dengan mengurangi semua hal-hal yang sekiranya akan menganggu kelancaran gue sendiri.

Kembali berdiam diri dan menjalani semuanya sendiri mungkin merupakan jalan terbaik untuk saat ini dan gue pikir gue melakukan itu bukan karena gue ingin dikasihani tapi gue memang menjauh dari interaksi supaya tidak menjadi lebih buruk lagi.

Adakah diri anda yang ketika berusia 40 mengalami krisis yang sama?