Dalam tiga hari mendatang, Jakarta akan kembali menggelar pesta rakyat untuk mereka yang memiliki kartu tanda penduduk Jakarta. Pemilihan Kepala Daerah untuk Daerah Khusus Ibukota akan kembali di gelar untuk putaran ke 2.
Berbagai macam bentuk kampanye telah dilakukan oleh masing-masing calon gubernur untuk lima tahun mendatang. Berbagai macam dalih, siasat, strategi telah diluncurkan oleh para tim sukses calon gubernur. Kota yang tadinya (atau sudah dan selalu) tenang kembali hiruk pikuk. Mulai dari bentuk nyata kampanye, poster yang digelar dimana-mana yang menjadikan kota menjadi lebih kotor dan sosial media yang menjadi ajang saling menjatuhkan dan saling (mungkin) fitnah antara satu calon dengan calon lainnya.
Ketika ditanya oleh beberapa teman siapakah yang akan menjadi jagoan saya dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta, saya mengatakan pada mereka bahwa saya tidak memilih. Bukan berarti golput, tetapi lebih kepada saya pemegang KTP Jawa Barat.
Bagi saya yang sudah tinggal di Jakarta semenjak tahun 1990, perkembangan kota terasa sekali. Mall yang tadinya hanya satu dua di beberapa area, kini menjamur layaknya stall kios Mak Icih yang ada di mana-mana. Dari tidak ada Trans Jakarta sampai entah sekarang sudah sampai di koridor berapa. Dari mulai rencana pembangunan monorail Cinere - Kota sampai tiang pancangnya berdiri dan menganggu estetika kota. Semua itu saya rasakan walau saya sempat meninggalkan ibukota selama hampir empat tahun dan bekerja di negeri orang.
Yang menggelitik bagi saya dari semua rangkaian kampanye dan persiapan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta Raya ini adalah ketika tiga hari lalu saya datang untuk menonton sebuah konser musik.
Konser Musik ini diadakan di sebuah bangunan yang sesungguhnya ketika dibangun pada tahun 1962 oleh Bung Karno sebagai tempat untuk melaksanakan pertandingan olah raga tenis dalam ruangan, atau bahasa yang lebih dikenal di kalangan masyarakat Jakarta pecinta konser, bangunan ini bernama Tennis Indoor.
Sungguh suatu hal yang sangat miris, betapa Jakarta sebagai ibukota negara yang sudah sedemikian maju dibanding berapa puluh tahun lalu, masih tidak punya sebuah gedung yang patut dijadikan sebagai gedung pertunjukan yang layak untuk dipakai dengan segala fasilitasnya yang up to date.
Taruhlah saat ini Jakarta punya JCC, Teater Jakarta, Teater Kecil, GKJ. Tapi kenapa setiap ada pertunjukan musik dalam kategori pertunjukan besar atau bersifat konser jarang dilaksanakan ditempat-tempat tersebut?
Harga sewa menjadi hal utama. Pertimbangan lain adalah lokasi yang mungkin dianggap kurang strategis. Gedung pertunjukan bagus belum tentu punya fasilitas penunjang yang bagus pula. Contohnya adalah Teater Jakarta dan Teater Kecil yang berlokasi di Taman Ismail Marzuki. Jarang ada yang mau memakai konser musik disitu karena pertimbangan parkir dan padatnya area sekitar sehingga menjadikan para penonton tidak nyaman atau pihak penyelenggara merasa jika mengadakan di tempat itu perlu biaya ekstra untuk pengamanan dan parkir dan lain-lain.
Begitu banyak gedung yang berubah fungsi dan begitu banyak juga gedung-gedung tua yang sesungguhnya jika di renovasi bisa menjadi suatu tempat pertunjukan menarik.
Semoga Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya yang baru akan bisa lebih memperhatikan tentang estetika kota, kegunaannya dan bisa menjadikan Jakarta sebagai kota yang dikangenin, yang didamba dan dibanggakan.
No comments:
Post a Comment