Monday, February 28, 2011

Teman, Tuhan - Sebuah Kisah di Hari Minggu

Siang tadi saya bersama beberapa teman menyaksikan sebuah pertunjukan drama yang dikemas dengan tari dan musik atau mungkin lebih dikenal dengan sebutan drama-musical. Entah kenapa cuaca yang dari pagi sudah hujan dan terus bersahabat dengan anginn dan udara sejuk seolah menjawab doa saya bahwa saya ingin sepanjang hari Minggu ini tidak ada cuaca panas.

Dari mulai saya bangun sampai dengan saya menuliskan corat-coret ini, saya masih terus terkesima dengan apa yang saya alami sehari ini.

Ketika bicara tentang Tuhan dan kuasa-Nya, bicara tentang Tuhan dan janji-Nya, bicara tentang Tuhan dan segala-Nya, adalah sebuah pembicaraan yang tak akan pernah habis, tak akan pernah putus. Ketika seorang individu, manusia ciptaan-Nya bercerita tentang Tuhannya tentunya masing-masing memiliki satu gambaran tersendiri, satu penilaian tersendiri, satu cara tersendiri untuk menunjukan cinta kasihnya pada apa yang disebut sebagai Tuhan-Nya.

Semalam saya berbincang panjang lebar dengan seorang teman lama ketika saya masih bekerja disalah satu restoran cepat saji terkemuka di negeri ini. Saya menanyakan tentang banyak hal padanya, tentang bagaimana kehidupan dia ketika ada dalam masa keterpurukan, tentang bagaimana dia memulai bisnisnya sampai bisa semaju sekarang, tentang bagaimana dia menyikapi hidupnya, tentang bagaimana dia beribadah terhadap Tuhannya dan tentang-tentang yang lain.

Dia bercerita dan dengan sabar meladeni semua pertanyaan saya yang terkadang untuk kadar kesabaran seseorang mungkin bisa membuat batas sabar terlewati, tapi dia mau menjawab dan kembali mengulang apa yang dia ceritakan jika saya tidak mengerti. Terkadang kita tertawa bersama mengenang masa lalu dari perjalanan hidup kita masing-masing ketika kita berpisah dan keluar dari tempat kerja kita bersama.

Ada satu hal yang dia selalu ingatkan kepada saya. Dia bilang bahwa sesungguhnya Tuhan itu Maha Kaya, segala sesuatu yang kita minta pasti akan dikabulkan, kuncinya hanya satu bahwa kita mencintai-Nya dan kita mau terus bersyukur atas apa yang telah diberi oleh-Nya, karena dengan mengucap syukur dan mencintai-Nya niscaya Dia tidak akan pernah melupakan kita dan terus memberi dan memberi karena Dia sudah percaya akan amanah yang diberikan kepada kita pasti akan dijalankan dengan sebaik-baiknya.

Teman saya ini bercerita bahwa dia memulai bisnisnya hanya dengan dana sebesar Rp. 20,000 (duapuluh ribu rupiah), percaya atau tidak itu terserah anda semua. Dia bilang di masa-masa awal perjuangan dia, jika dia harus meeting untuk mendapatkan tender, dia harus memilih antara dia ikut minum dengan calon klien di restaurant tempat bertemu dengan konsekuensi pulang jalan kaki atau dia memilih mengatakan puasa dan bisa pulang dengan angkot.

Dia bercerita bahwa itu adalah pilihan getir yang harus dihadapi tapi dengan tekadnya dia mampu mengalahkan itu semua dan percaya bahwa sesungguhnya Tuhan selalu memberikan yang terbaik bagi umat-Nya. Betapa dia berdoa dengan sepenuh hati untuk mendapatkan pinjaman karena dia memerlukan dana besar untuk proyek pertamanya. Itu terjadi pada hari Kamis sementara proyek itu harus diberi down payment hari Sabtu. Hari Sabtu pagi dia tiba-tiba bertemu dengan seorang Pendeta dan tanpa agunan apa pun sang Pendeta ini meminjamkan uangnya tanpa bunga. Teman saya ini tidak mengenal sang Pendeta sebelumnya.

Semalam teman baik saya ini bercerita dengan penuh perasaan suka cita, dengan emosi yang tak bisa dilukiskan. Dia bilang bahwa Tuhan selalu bekerja dengan cara-Nya yang misterius dan itu benar menurut saya. Percaya atau tidak, tentunya terserah anda tapi saya mempercayai apa yang dia ceritakan karena saya tahu betul siapa dia.

Naah, sore tadi selepas usai menonton pertunjukan Jakarta Love Riot, saya bermaksud menemui beberapa teman baik yang memang kita sudah janjian semenjak seminggu lalu. Saat saya kemudian datang untuk menjemput teman baik saya ini, ternyata teman baik saya yang baru saja juga selesai menjadi pembicara di peluncuran buku ternyata sedang ngobrol santai dengan beberapa orang. Salah satu dari beberapa orang tersebut adalah teman lama saya seorang penulis kolom kondang yang setiap hari Minggu tulisannya dinanti-nantikan oleh para penggemarnya.

Saya pikir dia tidak akan menghampiri tempat duduk saya, so saya dengan santai duduk di meja lain dengan sahabat yang sudah saya anggap adik sendiri dan mulai asyik mengobrol dengannya sampai kemudian sang penulis ini tiba-tiba berdiri dan menghampiri meja saya sambil ngomong, “Wis suwi ra petok. Opo kabare, ‘ry? Gawe nang ndi?” sebuah kalimat pembuka yang membuat saya terkejut karena terus terang saya tidak expect dia mengingat nama saya, apalagi untuk kemudian duduk bareng di satu meja dan mengobrol.

Pembicaraan saya dengan sang penulis ini seolah mengulang pembicaraan saya malam sebelumnya dengan teman baik saya yang saya ceritakan diatas. Sang penulis ini jauh berbeda dengan yang saya kenal sekitar 7 – 8 tahun yang lalu. Kini dia banyak bercerita tentang hubungannya dengan Sang Pencipta, hubungannya dengan Yang Empunya Hidup.

Dari hasil pembicaraan itulah kemudian saya merasa bahwa selama ini saya sudah salah melangkah, sudah salah mengolah kehidupan saya seolah ibadah saya adalah yang paling benar, seolah apa yang saya minta merupakan yang terbaik, apa yang saya perbuat yang berhubungan dengan Yang Diatas adalah merupakan tindakan terpuji. Ternyata itu semua belum ada apa-apanya dibandingkan dengan kehidupan dua teman baik saya yang baru dalam waktu 1 x 24 jam bercerita hal yang sama.

Saya pikir kini saatnya untuk lebih bisa mawas diri, lebih bisa memberi rasa ikhlas dan bisa berpikir lebih jernih dalam melakukan ibadah dan mengucap syukur kepada Tuhan atas apa yang telah dilimpahkan kepada kita.

Saya bersyukur bahwa Tuhan dengan cara-Nya telah mengajarkan saya untuk bisa lebih terbuka dan berkomunikasi lebih baik dengan-Nya.

Friday, February 04, 2011

Jawa, Suriname, Negeri Belanda - Sebuah Kisah Tak Pernah Habis

Beberapa waktu yang lalu saat lagi mengerjakan event di Erasmus Huis, saya iseng masuk ke galeri milik Erasmus Huis ini. Ada pameran yang dari jauh tampak tidak begitu menarik, saya pikir hanyalah sebuah pameran photo biasa yang menampilkan karya-karya dari para photographer dan tentunya dengan caption-caption yang bercerita tentang photo-photo tersebut. Ternyata saya salah. Benar bahwa itu adalah pameran photo tetapi ternyata berkisah tentang anak negeri ini di masa lalu dan kehidupannya yang sekarang.

Suriname sebagai satu negara dengan ibukota Paramaribo merupakan sebuah negara dengan 15% dari total jumlah penduduknya adalah masyarakat Jawa. Bahasa Jawa merupakan sebuah bahasa yang masih dipergunakan sampai sekarang. Sebagai sama-sama negeri yang dijajah oleh Belanda, Suriname kemudian mendapatkan banyak tenaga kerja baik yang didatangkan secara paksa atau sukarela dari Indonesia.

Pada saat mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka, banyak dari para tenaga kerja yang ada pada waktu itu di Suriname memutuskan untuk pulang. Sebagian besar masih tinggal di Suriname sampai kemudian Suriname merdeka dari Belanda pada tahun 1976, sebagian orang-orang Indonesia disana ada yan tetap tinggal di Suriname tapi ada juga yang kemudian memutuskan untuk pindah ke Belanda.

Saat kemarin saya melihat pameran photo dengan tajuk: “Migrasi Warisan Budaya: Cerita-Cerita Orang Jawa di Suriname, Indonesia dan Negeri Belanda”, saya seperti dibawa dalam sebuah dunia tersendiri. Menyelami photo demi photo yang berkisah bagaimana kultur / budaya Jawa masih demikian erat melekat dikalangan orang-orang Jawa di Suriname.

Proses pernikahan yang masih menggunakan rias paes ala Jawa dan tradisi gendongan, mangku, dahar suap semua dilakukan sesuai dengan budaya Jawa yang berlaku dari dulu sampai sekarang yang tentunya tidak berubah.

Proses upacara Tujuh Bulanan pun demikian adanya, mulai dari memandikan sang ibu yang lagi hamil tujuh bulan sampai dengan berganti kain dan memecahkan kelapa dengan golok sebagai tanda pecah pamor pun dilakukan persis layaknya di Indonesia.

Semua upacara tradisi Jawa yang berlaku selama masa hidup sampai dengan meninggal pun oleh orang-orang Indonesia yang tinggal di Suriname tidak alpa dilakukan. Memandikan jenazah dan kemudian mengkafani-nya serta menguburkannya dilakukan sama.

Matte Soemopawiro, sang photographer, dalam photo-photo yang diambil olehnya bercerita dengan jelas dan kita seolah-olah dibawa masuk dalam satu ruang tersendiri. Angle yang diambil oleh sang photographer ini mampu untuk menunjukan bahwa sang photographer memiliki kesabaran yang luar biasa dalam menanti momen yang menurutnya momen-momen menarik itu hanya terjadi sekali saja dan tidak bisa diulang.

Melihat nama yang disandangnya sang photographer ini tentunya berdarah Jawa walaupun lahir di Suriname dan kemudian pindah ke Negeri Belanda namun setidaknya kultur / budaya Jawa yang beliau miliki tentunya ini yang mengintrik beliau untuk mengabadikan setiap momen berharga tersebut.

Banyak sekali cerita yang sebenarnya bisa digali lebih banyak dari sejarah perjuangan bangsa ini. Bagaimana kemudian orang-orang Indonesia yang kemudian pindah ke Suriname berjuang untuk terus hidup dan akhirnya mampu menjadi sukses, ada dalam rangkaian cerita sang photographer di pameran ini.

Entah kenapa ketika saya meninggalkan ruangan pameran, masih terbayang-bayang semua photo-photo tersebut yang bercerita secara banyak. Kedutaan Besar Suriname di Indonesia pun meminjamkan beberapa koleksi photonya yang berharga yang memperlihatkan orang-orang Indonesia yang baru saja turun dari kapal tiba di Suriname. Perjalanan selama kurang lebih tiga bulan tentunya membuahkan hasil yang mana mereka kemudian menjadi sangat akrab. Bahkan ada satu perjanjian unik tidak tertulis diantara orang-orang Indonesia di Suriname bahwa dilarang menikah dengan anak cucu orang sekapal atau satu kerabat. Jadi orang sekapal yang dibawa ke Suriname itu sudah dianggap bersaudara dan anak cucunya dilarang saling menikah. Bagaimana implementasi sebuah aturan yang tidak tertulis itu? Tentunya mereka-merekalah yang tahu 

Jika memang anda punya minat besar pada perjalanan sejarah Indonesia di masa penjajahan Belanda dan segala halnya, saya pikir belum lengkap jika anda tidak datang ke Erasmus Huis untuk melihat pameran ini. Pameran ini berlangsung sampai dengan tanggal 18 Februari 2011.

Gending Jawa yang mengiringi setiap langkah anda berpindah dari satu photo ke photo lain merupakan sebuah sentuhan halus akan arti sebuah budaya yang tak hilang lekang oleh ingatan.

Semoga semakin banyak saja pameran-pameran seperti ini yang ditumbuh kembangkan tidak hanya oleh pusat budaya asing tapi juga oleh galeri-galeri lain di Jakarta khususnya dan di Indonesia pada umumnya.

Sampai jumpa pada event berikut 


Sumber:
Website Erasmus Huis
Wikipedia