Friday, February 04, 2011

Jawa, Suriname, Negeri Belanda - Sebuah Kisah Tak Pernah Habis

Beberapa waktu yang lalu saat lagi mengerjakan event di Erasmus Huis, saya iseng masuk ke galeri milik Erasmus Huis ini. Ada pameran yang dari jauh tampak tidak begitu menarik, saya pikir hanyalah sebuah pameran photo biasa yang menampilkan karya-karya dari para photographer dan tentunya dengan caption-caption yang bercerita tentang photo-photo tersebut. Ternyata saya salah. Benar bahwa itu adalah pameran photo tetapi ternyata berkisah tentang anak negeri ini di masa lalu dan kehidupannya yang sekarang.

Suriname sebagai satu negara dengan ibukota Paramaribo merupakan sebuah negara dengan 15% dari total jumlah penduduknya adalah masyarakat Jawa. Bahasa Jawa merupakan sebuah bahasa yang masih dipergunakan sampai sekarang. Sebagai sama-sama negeri yang dijajah oleh Belanda, Suriname kemudian mendapatkan banyak tenaga kerja baik yang didatangkan secara paksa atau sukarela dari Indonesia.

Pada saat mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka, banyak dari para tenaga kerja yang ada pada waktu itu di Suriname memutuskan untuk pulang. Sebagian besar masih tinggal di Suriname sampai kemudian Suriname merdeka dari Belanda pada tahun 1976, sebagian orang-orang Indonesia disana ada yan tetap tinggal di Suriname tapi ada juga yang kemudian memutuskan untuk pindah ke Belanda.

Saat kemarin saya melihat pameran photo dengan tajuk: “Migrasi Warisan Budaya: Cerita-Cerita Orang Jawa di Suriname, Indonesia dan Negeri Belanda”, saya seperti dibawa dalam sebuah dunia tersendiri. Menyelami photo demi photo yang berkisah bagaimana kultur / budaya Jawa masih demikian erat melekat dikalangan orang-orang Jawa di Suriname.

Proses pernikahan yang masih menggunakan rias paes ala Jawa dan tradisi gendongan, mangku, dahar suap semua dilakukan sesuai dengan budaya Jawa yang berlaku dari dulu sampai sekarang yang tentunya tidak berubah.

Proses upacara Tujuh Bulanan pun demikian adanya, mulai dari memandikan sang ibu yang lagi hamil tujuh bulan sampai dengan berganti kain dan memecahkan kelapa dengan golok sebagai tanda pecah pamor pun dilakukan persis layaknya di Indonesia.

Semua upacara tradisi Jawa yang berlaku selama masa hidup sampai dengan meninggal pun oleh orang-orang Indonesia yang tinggal di Suriname tidak alpa dilakukan. Memandikan jenazah dan kemudian mengkafani-nya serta menguburkannya dilakukan sama.

Matte Soemopawiro, sang photographer, dalam photo-photo yang diambil olehnya bercerita dengan jelas dan kita seolah-olah dibawa masuk dalam satu ruang tersendiri. Angle yang diambil oleh sang photographer ini mampu untuk menunjukan bahwa sang photographer memiliki kesabaran yang luar biasa dalam menanti momen yang menurutnya momen-momen menarik itu hanya terjadi sekali saja dan tidak bisa diulang.

Melihat nama yang disandangnya sang photographer ini tentunya berdarah Jawa walaupun lahir di Suriname dan kemudian pindah ke Negeri Belanda namun setidaknya kultur / budaya Jawa yang beliau miliki tentunya ini yang mengintrik beliau untuk mengabadikan setiap momen berharga tersebut.

Banyak sekali cerita yang sebenarnya bisa digali lebih banyak dari sejarah perjuangan bangsa ini. Bagaimana kemudian orang-orang Indonesia yang kemudian pindah ke Suriname berjuang untuk terus hidup dan akhirnya mampu menjadi sukses, ada dalam rangkaian cerita sang photographer di pameran ini.

Entah kenapa ketika saya meninggalkan ruangan pameran, masih terbayang-bayang semua photo-photo tersebut yang bercerita secara banyak. Kedutaan Besar Suriname di Indonesia pun meminjamkan beberapa koleksi photonya yang berharga yang memperlihatkan orang-orang Indonesia yang baru saja turun dari kapal tiba di Suriname. Perjalanan selama kurang lebih tiga bulan tentunya membuahkan hasil yang mana mereka kemudian menjadi sangat akrab. Bahkan ada satu perjanjian unik tidak tertulis diantara orang-orang Indonesia di Suriname bahwa dilarang menikah dengan anak cucu orang sekapal atau satu kerabat. Jadi orang sekapal yang dibawa ke Suriname itu sudah dianggap bersaudara dan anak cucunya dilarang saling menikah. Bagaimana implementasi sebuah aturan yang tidak tertulis itu? Tentunya mereka-merekalah yang tahu 

Jika memang anda punya minat besar pada perjalanan sejarah Indonesia di masa penjajahan Belanda dan segala halnya, saya pikir belum lengkap jika anda tidak datang ke Erasmus Huis untuk melihat pameran ini. Pameran ini berlangsung sampai dengan tanggal 18 Februari 2011.

Gending Jawa yang mengiringi setiap langkah anda berpindah dari satu photo ke photo lain merupakan sebuah sentuhan halus akan arti sebuah budaya yang tak hilang lekang oleh ingatan.

Semoga semakin banyak saja pameran-pameran seperti ini yang ditumbuh kembangkan tidak hanya oleh pusat budaya asing tapi juga oleh galeri-galeri lain di Jakarta khususnya dan di Indonesia pada umumnya.

Sampai jumpa pada event berikut 


Sumber:
Website Erasmus Huis
Wikipedia

No comments: