Saturday, March 05, 2005

KAWINAN

Yang paling malas menghadiri di Phnom Penh ini adalah pesta pernikahan, namun dikarenakan hidup sebagai orang asing dinegeri orang maka demi menjaga nama bangsa dan negara serta martabat sebagai orang yang bekerja di kedutaan Indonesia maka acap kali mendapat undangan pernikahan rasanya ingin punya seribu enambelas alasan untuk menghindar.

Memang masalahnya apa sih sampai sebegitunya acap kali mendapat undangan pernikahan lalu malas untuk hadir atau minimal datang setor muka sekedar salaman dengan pengantinnya atau pihak orang tua yang mengundang ?

Pertama, di Phnom Penh ini setiap kali kita menghadiri pesta pernikahan maka amplop yang dipakai untuk memberi uang sebagai tanda terima kasih adalah amplop undangan yang jelas-jelas tertera nama kita sebesar alaihum gambreng.

Bayangkan misalnya kita memasukkan lima dollar kedalam amplop tersebut lalu ketika amplop itu dibuka maka akan terlihat jelas nama kita plus uang lima dollar yang kita beri so then the whole world will see that. Begitu mengetahui hal seperti itu, saya menyiasatinya dengan mengganti amplop undangan itu dengan amplop kosong lalu dengan perasaan tenang mendatangi pesta pernikahan, setelah sampai ditempat pesta, amplop saya berikan kepada pengantin [memang begitu tata caranya disini] dan begitu tahu saya memberikan amplop dengan amplop putih, sang pengantin dengan tenangnya menulis nama saya di amplop putih tersebut. GUBRAAAAKKKSSS .... !!!! oh .. me and my sok-you know syndrome ..

Hal kedua yang membuat saya malas adalah, dalam satu pesta pernikahan, maka setiap tamu dipersilahkan untuk menduduki meja-meja yang telah disediakan [meja bundar seperti kalau mau sitting dinner]. Pertama kali saya datang ke pesta pernikahan, saya datang bersama Bude Kundarti, the butler of Wisma Duta. Kami berdua duduk dengan manis dan rapi menanti dengan sabar hidangan tersaji dihadapan kami. Setelah menunggu hampir lebih dari tigapuluh menit, kami mulai gelisah, hidangan tak tersaji sementara meja-meja disamping kita sudah mulai makan. Wah, apakah karena kami orang asing lalu karena makanan yang dimasak tidak halal maka kemudian untuk mereka didahulukan sementara kami dimasak dahulu ? atau mungkin mereka menyediakan menu khusus untuk kami. Begitu banyak pertanyaan dan lagi-lagi karena kami adalah orang Indonesia dan parahnya lagi adalah orang Jawa, maka kami memutuskan untuk tidak bertanya dan terus menunggu.

Satu persatu-persatu rekans lokal staff berdatangan dan terakhir adalah Mr. Keukun dan Mr. Jack Busro. Begitu seluruh isi meja penuh maka mulailah makanan keluar satu demi satu hingga menu dessert yang terakhir. Lalu saya bertanya kepada Chan Tha dan dia mengatakan bahwa adat istiadat di Cambodia adalah seperti itu, dalam artian jika kita menghadiri resepsi pernikahan dan kemudian kita didudukkan dalam satu meja, makanan tidak akan dihidangkan jika jumlah orang dalam satu meja itu belum mencapai sepuluh orang. Again, GUBRAAAKKSS .. !!!! ... pantesan saja saya harus menunggu hampir satu setengah jam sampai dengan hidangan disajikan semenjak saya duduk dimeja tersebut.

Akan halnya dengan Mr. Ambassador, mengingat kesibukan beliau maka biasanya beliau meminta saya untuk datang menghadiri acara pernikahan jika beliau mendapat undangan dan beliau tidak dapat hadir. Inilah hal ketiga yang membuat saya malas. Pertama masalah amplop, kedua masalah tempat duduk dan ketiga wakil mewakilkan. Namun karena hal tersebut merupakan salah satu dari bagian tugas saya untuk menggantikan beliau maka mau tidak mau saya harus berangkat.

Seperti halnya siang ini. Saya pribadi diundang untuk hadir pada satu acara pernikahan. Mr. Ambassador pun diundang. Karena pertimbangan satu dan lain hal, saya tidak memberikan undangan tersebut untuk Mr. Ambassador, bukan apa-apa, it's a matter of menjaga image beliau walaupun mungkin nantinya ada kemungkinan beliau akan tahu. Masalahnya mengapa saya tidak memberitahukan undangan tersebut adalah karena yang mengundang adalah salah satu tokoh masyarakat Indonesia di Phnom Penh namun saja bukan putra-putri mereka yang menikah namun pembantu rumah tangga mereka yang menikah.

Seandainya saya memberitahukan undangan tersebut kepada Mr. Ambassador, lalu apa yang akan saya katakan kepada beliau jika kemudian beliau bertanya siapakah ini yang menikah ?

Haruskah dengan polosnya saya mengatakan .. "Pembantunya Tuan dan Nyonya Camintel, Sir" ... goosshhh, saya sama sekali tidak mendapatkan bayangan tersebut.

Maka saya pun tadi berangkat ke pesta pernikahan tersebut yang diselenggarakan di salah satu cafe Indonesian food di Phnom Penh -- Bali Cafe dan bentuk penyajian yang buffet membuat saya tersenyum dan segera menghilangkan sejuta enam belas ragu untuk menghadiri pesta pernikahan.

No comments: