Monday, March 21, 2005

BAHASA

Banyak sekali kemajuan dalam berbahasa yang tentunya terkadang membuat kita terkagum-kagum dengan sejuta enambelas istilah baik itu yang dibuat pada masa lalu ataupun yang dibuat pada masa sekarang.

Perkembangan bahasa yang juga menunjukkan betapa kritisnya suatu bangsa akan perubahan yang terjadi terkadang ditanggapi dengan positif oleh beberapa pihak saja sementara itu banyak pihak yang mungkin protes dengan adanya perkembangan bahasa.

Beberapa waktu lalu dalam salah satu milis yang saya ikuti, saya tertarik membaca pendapat AJIP ROSIDI, salah satu sastrawan terkemuka negeri ini, yang mengatakan bahwa bahasa Inggris ternyata lebih diminati dan dipelajari oleh generasi muda bangsa kita tinimbang bahasa kita sendiri. Bahkan, sudah banyak yang menggunakan istilah ataupun nama untuk toko dan banyak hal lainnya yang diambil dari bahasa Inggris.

Inilah tulisan beliau :

BAHASA INDONESIA, SIAPA PEDULI ?
Ajip Rosidi
Pensiunan dan Tinggal di Desa Pabelan, Magelang

Baru-baru ini saya diundang ke Makassar dan ditempatkan di Imperial Aryaduta Hotel yang terletak di pesisir Losari yang terakhir kali saya ke Makassar [25 tahun yang lalu] masih sepi. Ketika itu hanya ada satu-dua penginapan sederhana dan restoran yang juga sederhana. Bangunan hotel itu tak kalah oleh bangunan hotel-hotel berbintang di kota-kota dunia.

Tapi ada yang mengejutkan saya, ialah ternyata semua keterangan yang tercetak di hotel itu ditulis hanya dalam bahasa Inggris. Memang saya lihat ada wistawan bule juga yang menginap di situ, juga beberapa orang Jepang, tetapi tamu terbanyak adalah orang pribumi. Apakah semua orang pribumi yang menginap di situ hanya bisa berbahasa Inggris dan tidak tahu bahasa nasionalnya, Bahasa Indonesia ?

Baru-baru ini ketika saya diundang makan malam di restoran baru, Atmosfir, di Bandung, saya juga disodori daftar makanan (menu) yang hanya dalam bahasa Inggris padahal yang saya lihat makan di situ kebanyakan peranakan Cina yang mestinya bisa berbahasa Indonesia. Hanya menggunakan bahasa Inggris seperti itu mungkin dilakukan juga oleh hotel-hotel dan restoran-restoran lain yang tak dapat saya periksa satu per satu karena saya jarang menginap di hotel dan makan di restoran mewah.

Tapi mendahulukan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia tidak hanya dilakukan oleh pihak swasta seperti hotel dan restoran. Kalau kita menelepon KBRI Tokyo, maka yang menjawab ialah rekaman berbahasa Inggris, kemudian bahasa Jepata [atau sebaliknya ?] dan baru terakhir bahasa Indonesia. Artinya perwakilan kita di negeri Matahari Terbit itu mendahulukan bahasa asing daripada bahasa nasionalnya. Kemungkinan besar begitu juga di perwakilan-perwakilan kita di negeri lain.

Padahal kedudukan bahasa Indonesia itu jelas dalam UUD 1945, yaitu sebagai bahasa negara. Belum ada keterangan undang-undanga apa yang dimaksud dengan bahasa negara itu. Istilah itu kecuali dalam UUD 1945 tak pernah atau jarang digunakan. Yang sering terdengar digunakan adalah sebutan bahasa nasional, sedang dalam Sumpah Pemuda 1928 istilah yang dipakai ialah bahasa persatuan. Istilah bahasa persatuan dipilih mungkin sehubungan dengan kesadaran para penyusun Sumpah Pemuda itu akan adanya bahasa-bahasa daerah yang hak hidupnya diakui dan kemudian dipahatkan secara hitam atas putih dalam UUD.

Rendah Diri
Pada tahun 1970an, Gubernur Ali Sadikin [saya kira terpengaruh oleh himbauan Pak Amin Singgih yang waktu itu secara tetap mengisi ruangan bahasa Indonesia dalam acara TVRI] mengharuskan toko-toko menggunakan bahasa Indonesia dan dilarang menggunakan bahasa asing. Nama-nama toko, hotel, perusahaan yang tadinya berbahasa Cina, Belanda atau Inggris langsung bertukar.

Tapi sekarang banyak yang sudah kembali mempergunakan bahasa asing lagi. Karena tak ada yang menegur maka kebiasaan itu kian mewabah. Bahkan toko-toko atau perusahaan-perusahaan baru yang nasional dan pribumi pun sekarang berlomba-lomba memakai nama dalam bahasa asing. Keterangan-keterangan yang tercantum di bawah atau di samping namanya pun ditulis dalam bahasa asing. Bahkan iklan-iklan pun ditulis dalam bahasa asing walaupun sasarannya orang pribumi yang pesek juga.

Jelas pemakaian bahasa asing untuk nama dan untuk keterangan dan iklan perusahaan-perusahaan itu bukan karena hendak mencapai konsumen lebih luas seperti seharusnya demikian tujuan iklan, karena dipasarkan di Indonesia niscaya segmen pasar yang diarahnya pun bangsa Indonesia yang pandai berbahasa Indonesia atau berbahasa daerah lainnya daripada bahasa Inggris. Pemakaian bahasa Inggris di situ hanya dipacu oleh rasa rendah diri karena menganggap bahasa Indonesia adalah bahasa kelas dua atau kelas tiga. Bahasa Inggris dianggap lebih tinggi kedudukannya.

Karena adanya anggapan bahwa berbahasa Inggris lebih bergengsi dan lebih aksi. Rasa rendah diri terhadap bahasa Indonesia dan anggapan bahwa kalau bisa cas-cis-cus bahasa asing akan menimbulkan rasa kagum dari para pendengarnya, dipamerkan setiap hari melalui televeisi oleh para pakar kita dalam segala bidang terutama oleh para presenter dan penyiarnya. Kelihatannya kalau berbicara tidak diselengi oleh kalimat-kalimat atau kata-kata bahasa Inggris setiap beberapa kalimat, pembicara khawatir dianggap tidak termasuk kaum intelektual atau tidak internasional.

Sementara itu kita saksikan bahwa para selebriti yang sering muncul di televisi sama sekali tidak menggunakan bahasa nasional. Begitu juga sinetron-sinetron meskipun tidak berlatar-belakangan budaya Betawi seperti si Doel tidak menggunakan bahasa Indonesia. Semua pelaku berbicara dalam bahasa Jakarta. Begitu juga kalau ada artis atau bintang diwawancara mereka selalu berbicara dalam bahasa Jakarta. Kata ganti orang pertama yang mereka pakai adalah gue dan kata ganti keduanya elu. Dan nampaknya hal begitu sekarang sudah dianggap wajar.

Meskipun pemerintah mempuyai Pusat Pembinaan Bahasa Nasional dan Daerah tapi kelihatannya lembaga itu menganggap bahwa sikap merendahkan bahasa Indonesia entah sebagai bahasa nasional entah sebagai bahasa negara adalah wajar-wajar saja. Tak kelihatan usaha yang yang keras dan berencana lembaga yang katanya mau membina bahasa nasional itu menolak gejala yang merendahkan kedudukan bahasa nasional yang harus dibinanya itu apalagi membela jangankan membina bahasa-bahasa daerah, walaupun masih dalam cakupan tugasnya.

Ditinggal Malaysia
Kita menyaksikan kesungguhan orang Malaysia memajukan salah satu bahasa resminya, bahasa Melayu. Mereka mempunyai program untuk mengembangkan pelajaran dan perbukuan dalam bahasa Melayu. Mereka mempunyai Dewan Bahasa dan Pustaka yang polanya mengikuti Balai Pustaka di Indonesia tapi langkahnya jauh meninggalkan lembaga yang dijadikan polanya itu. Mereka mempunyai GAPENA (Gabungan Penulis Nasional) yang setiap tahun mengadakan kegiatan kebahasaan dan kesusasteraan, meskipun organisasi swasta namun selalu mendapat dukungan pemerintah, baik pemerintah kerajaan (federal) maupun pemerintah negara bagian.

Mereka mengembangkan perpustakaan di sekolah-sekolah dan mewajibkan para pelajar membaca buku-buku karya sastera, baik yang klasik maupun yang baru. Sejak tahun 1970-an pemerintah Malaysia mengadakan hadiah sastera tahunan yang dilaksanakan secara ajeg. Sejak tahun 1980-an mereka mengadakan lembaga Sasterawan Negara, yaitu sasterawan yang karya-karyanya dianggap besar jasanya bagi bangsa diangkat sebagai Sasterawan Negara dengan berbagai fasilitas, antaranya buku-bukunya dicetak dalam jumlah yang cukup banyak dan disebarkan ke perpustakaan-perpustakaan sekolah di seluruh kerajaan.

Sejak tahun 1980-an juga mereka menyediakan anggaran untuk menempatkan pengajar bahasa Melayu di universitas asing yang mengajarkan bahasa Melayu, antaranya di Universitas Leiden, negeri Belanda dan di salah sebuah Universitas di Amerika. Mereka juga mengundang para sarjana asing yang meneliti bahasa dan sastera Malaysia sebagai tamu untuk beberapa bulan sampai setahun agar bisa melakukan dan menulis hasil penelitiannya yang kemudian diterbitkan oleh DBP.

Apa yang dilakukan pemerintah Malaysia dengan bahasa Malaysia sebenarnya hanya mengikuti langkah-langkah negara maju yang hendak meluaskan cakrawala pemakaian dan pengaruh bahasanya seperti negara Inggris mengadakan British Council di berbagai negara, negara Jerman mendirikan Goethe Institut, Amerika Serikat membentuk lembaga pengajaran bahasa Inggris - Amerika seperti LIA di Indonesia, negara Belanda membentuk Erasmus Huis, negara Jepang mengadakan The Japan Foundation, dan lain-lain. Bahasa-bahasa yang sudah maju seperti Inggris dan Jepang pun masih dipromosikan oleh pemerintahnya, tetapi pemerintah Indonesia menganggap tak perlu mempromosikan bahasa negaranya, jangankan di luar negeri, di dalam negeri sendiri pun tidak. Jangankan terhadap orang asing, terhadap warga negaranya sendiri pun tidak. Bahasa Indonesia yang dahulu menjadi salah satu kebanggaan bangsa Indonesia karena dapat menyatukan berbagai suku bangsa yang tersebar dalam belasan ribu pulau, sekarang menjadi yatim-piatu yang tak mendapat perhatian dari siapa pun.

No comments: