Wednesday, May 11, 2005

MILITER MONOPOLI PAHLAWAN ?
oleh Asvi Warman Adam

Siapa yang dianggap sebagai pahlawan ? Sidney Hook dalam buku The Hero in History membedakan antara eventfulman dan event-makingman. Yang pertama adalah orang yang terlibat dalam suatu peristiwa, sedangkan yang kedua adalah orang yang membuat peristiwa. Bisa saja seorang tokoh beruntung karena berada pada posisi dan waktu yang tepat mengambil keputusan yang berdampak besar bagi masyarakat luas.

Namun, figur dalam kelompok kedua adalah orang yang mampu mengendalikan peristiwa, bahkan mengarahkan masyarakat sesuai tujuan yang diinginkannya. Soekarno (sebagaimana halnya Mahathir bagi Malaysia) dengan pidato-pidatonya yang inspiratif bisa dimasukkan ke dalam kategori tersebut.

Pertanyaannya, apakah tokoh yang berprofesi militer termasuk jenis yang pertama atau kedua ? Kenyataannya, Taman Makam Pahlawan didominasi militer dan seperempat di antara pahlawan nasional berasal dari profesi itu.

TMP (Taman Makam Pahlawan) Kalibata saat ini dihuni sekitar 7,000 tokoh. Enam ribu diantaranya berasal dari militer dan hanya seribu orang dari kalangan sipil. Militer didominasi AD sebanyak 5,000 tokoh dan sisanya seribu orang lagi dari AL, AU serta POLRI. Dari kalangan sipil yang berjumlah seribu itu, hanya 23 orang yang menjadi pahlawan nasional (diantaranya adalah H. Agus Salim).

Sejak dilakukan pemindahan makam dari Ancol ke Kalibata pada tahun 1959, sampai hari ini terdapat sekitar 125 pahlawan nasional. Seperempat diantaranya berasal dari militer. Peristiwa G 30 S / 1965 dengan seketika melahirkan 10 pahlawan, yakni 6 jenderal TNI AD , seorang perwira pertama AD yang diculik serta dibunuh di Lubang Buaya, seorang polisi pengawal rumah Waperdam Leimena; Karel Satsuit Tubun serta dua perwira lain yang tewas di Jogjakarta yaitu Katamso dan Sugiono.

Diantara lima tokoh yang diangkat sebagai pahlawan nasional pada 2002, terdapat dua militer, yaitu Jenderal Nasution dan Jenderal GPH Jatikusumo.

Mengapa banyak militer yang menjadi pahlawan, apalagi yang menghuni taman makam pahlawan ? Jawabannya terdapat pada definis pahlawan itu seperti yang tercantum dalam Peraturan Presiden No. 33 Tahun 1964. Pahlawan adalah a. warga negara RI yang gugur dalam perjuangan -yang bermutu- dalam membela bangsa dan negara, b. warga negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara yang dalam riwayat hidupnya selanjutnya tidak ternoda oleh suatu perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannya.

Kriteria pertama mengacu kepada militer, sedangkan yang kedua kepada kalangan sipil. Militer lebih banyak berpeluang menjadi pahlawan seperti yang diberikan kriteria tersebut. Sedangkan sipil masih diganjal ketentuan "tidak ternoda" -yang tampaknya ditujukan kepada tokoh yang pernah terlibat pergolakan seperti PRRI/PERMESTA. Untuk masa datang, ketentuan itu pun perlu ditinjau kembali.

Persyaratan untuk memperoleh kavling di Taman Makam Pahlawan Kalibata, selain dari pahlawan nasional, adalah orang yang pernah mendapat bintang tanda jasa seperti Bintang Republik Indonesia, Bintang Mahaputra, Bintang Gerilya, Bintang Utama, atau bintang-bintang yang memang disediakan bagi empat angkatan. Yaitu, Bintang Kartika Eka Paksi (AD), Bintang Yalasena Utama (AL), Bintang Swa Bhuana (AU) dan Bintang Bayangkara (POLRI). Karena itu, militer sangat dalam daftar penghuni TMP.

Penataan Urusan Kepahlawanan

Sekarang ini terjadi pergunjingan di tengah masyarakat tentang pahlawan. Apakah pengangkatan seseorang itu sebagai pahlawan betul-betul disebabkan jasanya atau faktor lain seperti politik dan KKN ?

Demikian pula dengan penganugerahan bintang jasa yang terkesan diobral pada masa Soeharto sampai Habibie. Saat itu, orang-orang yang dekat dengan Presiden, termasuk para menteri (atau mantan menteri) beserta istrinya, diberi bintang jasa.

Bahkan, istri Presiden Soeharto, Ny. Suhartinah, diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada 1996. Para era Megawati, masih terdengar komentar miring ketika mertua Presiden Megawati Soekarnoputri mendapat Bintang Mahaputra Nararya. Ayahanda Taufiq Kiemas tersebut pernah menjadi pejabat tinggi di Departemen Perdagangan pada 1957 - 1967. Namun, tidak dijelaskan apa jasa beliau yang sangat menonjol.

Untuk mengatasi hal itu, menurut hemat kami, perlu dilakukan beberapa hal. Pertama, seyogyanya pengangkatan pahlawan dan pemberian bintang tanda jasa dilakukan secara transparan. Sebaiknya nama calon pahlawan atau penerima tanda jas itu diumumkan di surat kabar, sehingga bisa dilakukan uji publik. Kalau tidak ada keberatan dari masyarakat, baru diangkat.

Dengan cara seperti itu, segala KKN tentu akan segera diketahui. Memang, pengangkatan pahlawan dan pemberian tanda jasa ini merupakan hak prerogatif presiden. Tanpa mengurangi hak tersebut, sistem yang lebih terbuka akan menyebabkan semuanya berjalan lebih baik.

Kedua, kriteria pahlawan nasional tersebut perlu ditinjau kembali dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Peraturan presiden itu dibuat pada 1964, sudah beberapa puluh tahun silam. Dengan demikian, bukan bidang kemiliteran saja yang berpeluang tetapi tokoh dibidang lain seperti ekonomi, sosial-budaya, dan iptek juga bisa masuk. Demikian pula, tokoh olahraga, tenaga kerja wanita di luar negeri serta pembela HAM (seperti Munir almarhum) bisa diusulkan.

Ketiga, jangan sampai ada pahlawan yang terkena cekal seperti pada masa Orde Baru. Sebelum 1965, Tan Malaka dan Alimin Prawirodirdjo diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada 1963 dan 1964. Namun, dalam buku Album Pahlawan Bangsa terbitan Mutiara Sumber Widya (2001) dengan kata sambutan direktur Urusan Kepahlawanan, Departemen Sosial, serta direktur Sarana Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, di antara 109 pahlawan (yang muali diangkat 1959 sampai 2001), tidak tercantum nama Tan Malaka dan Alimin Prawirodirdjo.

Pencekalan pahlawan dari golongan kiri itu merupakan pelecehan sejarah bangsa. Sebab, gelar pahlawan kedua tokoh itu TIDAK PERNAH DICABUT secara resmi. Kalau terus begitu, kapan kita menjadi bangsa yang besar, bangsa yang menghargai pahlawannya ?


Noted from me :
Menarik mencermati jalanya sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara di negara kita tercinta ini, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Begitu banyak hal yang memang harus dituntaskan, dibenarkan, diluruskan atau mungkin juga dikembalikan pada tempat dan porsi yang sebenarnya. Tidak hanya bangunan, pusaka ataupun peninggalan bersejarah; tokoh pun masih harus dikoreksi, masih harus dibenarkan jika salah, masih harus diperhatikan baik-baik, kalau selama ini yang tercatat hanya dua orang, besok mungkin terungkap lagi fakta lain. Who knows ? Kita hanya bisa berharap dan semoga pelajaran dari selama perjalanan kehidupan berbangsa den bernegara ini berjalan dapat menjadikan Indonesia Raya lebih baik lagi ...

No comments: