ARTI SEBUAH KENANGAN
18.45 waktu phnom penh
Mata saya nanar membaca satu postingan dari satu forum diskusi yang saya ikuti. Mungkin buat sebagian orang tidaklah berarti tapi buat saya pribadi, ada sedikit rasa gundah dan juga rasa gusar yang sangat mendalam ketika membaca berita tersebut.
Adalah rencana pemerintah DKI dan juga (mungkin) PT. Kereta Api Indonesia untuk mengembangkan secara lebih jauh lagi fungsi dari Stasiun Kota atau yang dikenal juga dengan sebutan Stasiun Beos (di permainan Monopoli nama ini ada) dengan cara merombaknya dan menjadikannya mal dengan kapasitas lima lantai.
Stasiun Beos merupakan salah satu landmark kota Jakarta Tua, didirikan pada awal tahun 1930an, yang juga merupakan lambang dari arstitektur bergaya modern pada masa itu. Merupakan pusat dari semua perjalanan kereta api pada masanya dan juga merupakan stasiun pertama yang dibuat.
Merupakan satu kesatuan dengan gedung disekelilingnya seperti Musium Fatahillah (dulunya merupakan gedung pemerintahan), Musium Seni Rupa (dulunya merupakan Gedung Pengadilan, didirikan tahun 1871), Musium Wayang (dulunya merupakan gereja), Stasiun Beos tidak dapat dilepaskan bahwa ia adalah satu dari saksi kejayaan Batavia Tempo Doeloe dan juga saksi dari perjalanan perkembangan kota Jakarta hingga sekarang ini.
Semakin hari semakin disadari bahwa permintaan tinggal permintaan, penghargaan tinggal penghargaan, jika semua sudah berurusan dengan uang, dengan mata pencaharian yang lebih, maka apa pun akan bersedia dikorbankan. Banyak protes yang dilakukan oleh berbagai anggota masyarakat mengenai kasus Stasiun Beos ini tapi tak sorang pun yang didengar nampaknya. Arogansi pemerintah daerah yang sangat percaya bahwa dengan adanya mal lima lantai di tempat bekas adanya stasiun tua ini tentunya akan menambah prestise ibukota dan juga banyak pegawai yang bisa mendapatkan lahan pekerjaan, tidak seperti selama ini Stasiun Beos hanya dijadikan tempat tongkrongan dan keberangkatan beberapa kereta saja.
Tidakkah pernah terpercik satu keinginan dalam hati nurani untuk melestarikan peninggalan sejarah ? sehingga nantinya anak-cucu kita akan tahu secara lebih jelas asal usulnya dan kita bisa menunjukkan buktinya. Nampaknya tidak ada lagi hasrat itu. Begitu banyak sebenarnya bangunan-bangunan bersejarah yang sekarang sudah tidak ada lagi dan digantikan oleh gedung pencakar langit ataupun pusat perbelanjaan yang mempunyai arti sedikit dalam perkembangan sejarah bangsa. Lihat saja, Societiet Concordia yang sekarang sudah tidak ada lagi bekasnya dan kini sudah menjadi kompleks Sekretariat Negara yang luas sekali. Hotel Des Indes (salah satu hotel bersejarah dan juga merupakan tempat Sri Sultan Hamengkubuwono IX menerima Keris Kiyai Joko Piturun sebagai tanda bahwa beliau akan menggantikan ayahandanya Sri Sultan Hamengkubuwono VIII) yang kini menjadi pusat perbelanjaan Duta Merlin (dooohh .. please dech .. ). Penjara Banceuy (tempat Soekarno ditahan dan kalau tidak salah tempat naskah Indonesia Menggugat dibuat) yang kini menyisakan satu sel saja sementara sisanya sudah lebur dan menjadi pusat pertokoan Banceuy Permai di area Alun-Alun Bandung. Itu semua hanya sebagian kecil dan saya yakin bahwa masih banyak lagi tempat yang bersejarah namun kita tidak mengetahuinya dan sekarang tempat itu sudah tidak lagi ada.
Perawatan Musium pun sangat mengkhawatirkan di Indonesia kita tercinta ini. Musium seolah hanya merupakan bangunan tua yang tak ada arti. Malangnya, para penjaga ini pun terkadang masih salah dalam memberikan informasi atau yang lebih parah lagi adalah tidak bisa memberikan penjelasan atas apa yang ada di gedung musium itu sendiri. Menyedihkan, bukan ? .. seperti ketika kita mengunjungi Musium Perumusan Naskah Proklamasi, well, sang penjaga tiket hanya sekedar mengambil uang tiket dan setelah itu melepas kita tanpa menjelaskan apa-apa sementara kita harus puas hanya dengan membaca caption-caption yang ditaruh untuk setiap benda atau photo. Sama juga ketika mengunjungi Musium Sasmita Loka (rumah kediaman Jenderal Ahmad Yani ketika peristiwa 30 September 1965 terjadi), walaupun sang penjaga (yang tentunya tentara) berusaha menerangkan sedetail mungkin apa yang terjadi namun masih terdapat fakta-fakta yang terlewatkan, belum lagi keadaan musium yang menyedihkan dan juga posisi tempat photo-photo terpajang seolah memaksakan diri ditambah lagi dengan dijadikan satunya beberapa barang milik almarhum Jenderal Nasution sehingga merusak image secara keseluruhan rumah Jenderal Ahmad Yani ini.
Dibandingkan dengan Kamboja, negara yang baru saja menyelesaikan perang saudaranya dan juga boleh dikatakan bahwa negara ini adalah negara miskin, Indonesia sangat jauh tertinggal dalam menata peninggalan bersejarahnya. Dalam postingan di blog beberapa waktu yang lalu saya kalau tidak salah pernah menyinggung masalah Angkor Wat dan Borobudur. Di Kamboja ini semua musium dan semua obyek wisata bersejarah dikelola sedemikian rupa dan sang guide pun tampaknya dipersiapkan sesiap mungkin. Anda bisa memilih guide dalam bahasa Khmer, Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, Jepang, Korea ataupun China. Rata-rata untuk guide kita hanya membayar tambahan sebesar USD 5. Jumlah yang bisa dikatakan adalah jumlah yang relatif kecil dan tidak banyak namun bisa bermanfaat buat orang banyak dan menambah pengetahuan tentunya.
Seandainya saja saya punya uang banyak saya ingin sekali membangun kembali The Jakarta Heritage Society or Bandung Heritage Society, sebuah perkumpulan yang bergerak dibidang pelestarian bangunan-bangunan tua dan juga melakukan banyak kegiatan yang berkaitan dengan pelestarian bangunan-bangunan bersejarah tersebut.
Saya memang tidak pernah merasakan kejayaan Stasiun Beos pada jaman dulu kala, tidak pernah merasakan menunggu trem di depan Stasiun Beos, sekalinya saya ke Stasiun Beos adalah ketika pertama kalinya saya akan berangkat ke Surabaya dengan menggunakan kereta api BIMA (Biru Malam; yang memberi nama tersebut adalah Ir. Soekarno, Presiden RI pertama) setelah itu saya hanya lebih banyak lewat saja jika hendak ke Mangga Dua atau menikmati sarapan pagi di Cafe Musium yang letaknya tepat disebelah Musium Fatahillah.
Mungkin nanti ketika saya kembali, saya hanya akan bisa mengingat kembali betapa indahnya Stasiun Beos ini dan betapa pilunya hati ini jika harus mengingat bahwa akhirnya saksi bisu perjalanan perkembangan satu kota harus hancur demi terlaksananya ego manusia. Atau malah nanti saya akan tertawa-tawa dan bersenang-senang di Mall lima lantai tersebut ? ...
No comments:
Post a Comment