BAGINDA raja adil, tapi tempatnya jauh. Gubernur Jenderal adil, tapi tempatnya jauh. Maka siapakah yang akan dihukum mereka yang melakukan kesalahan karena tidak bertindak adil kepada rakyat ?
Itulah kira-kira pertanyaan yang diajukan Asisten Residen Lebak (kini wilayah di Provinsi Banten), Max Havelaar, yang baru saja ditempatkan di wilyah itu pada paruh kedua abad kesembilan belas. Pertanyaan itu diajukan kepada bupati dan para demang di wilayah Lebak, yang memperlakukan rakyatnya dengan kasar.
Walaupun kita dapat saja mempersoalkan apakah Raja Belanda dan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda (nama Indonesia saat itu) benar-benar adil, namun pertanyaan Max Havelaar itu bisa menjadi bahan perenungan, pun di masa kini.
Kita bisa bertanya pada diri kita sendiri, betulkah kita telah berlaku adil pada bawahan kita ? Betulkah pemimpin yang terdekat dengan rakyat atau bawahannya, misalnya lurah di sebuah kelurahan, manajer di sebuah perusahaan, ketua cabang di suatu organisasi non-pemerintah, telah bertindak dengan adil ?
Max Havelaar, tokoh rekaan Eduad Douwes Dekker (1820-1887) dalam novel berjudul sama itu, kini dapat disaksikan kembali filmnya. Film yang disutradai Fons Rademakers pada tahun 1976 juga berjudul Max Havelaar. Ini memang bukan film baru, bahkan sudah beberapa kali ditayangkan.
Namun film yang juga dibintangi oleh artis kenamaan Indonesia, Rima Melati, tetap menarik untuk ditonton kembali.
Film Max Havelaar bersama sejumlah film lainnya, akan tampil dengan Festival Film Belanda 2005 yang akan diadakan di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, dari 15 sampai 25 September mendatang.
Kurang Dikenal
Harus diakui, karya-karya film Belanda kurang dikenal di Indonesia. Selain Max Havelaar, paling-paling yang diingat orang adalah film OEROEG yang menceritakan persahabatan dua anak, satu anak mandor perkebunan berkebangsaan Belanda, dan satu lagi anak seorang tukang di kebun itu yang berdarah Indonesia.
Persahabatan keduanya kemudian sempat terpecah, ketika anak sang mandor menjadi tentara Belanda dan anak tukang kebun itu menjadi gerilyawan pejuang kemerdekaan Indonesia.
Secara keseluruhan, film itu menarik untuk ditonton. Termasuk yang mungkin paling menyentuh, adegan di bagian akhir film itu.
Terjadi pertukaran tawanan di sebuah jembatan yang menghubungkan wilayah Belanda dengan wilayah Republik Indonesia. Anak mandor perkebunan yang telah menjadi tentara Belanda ditukar dengan sejumlah pejuang kemerdekaan Indonesia, termasuk salah satunya anak sang tukang kebun. Saat keduanya berpapasan, anak mandor perkebunan itu berkata, "Kita tetap bersahabat 'kan?"
Si anak tukang kebun yang menjadi pejuang kemerdekaan Indonesia menatap orang yang bertanya padanya sesaat, baru kemudia menjawab, "Ya, kalau kita sudah setara." Jawaban pendek, namun penuh makna.
Sekali lagi, memang asyik menonton film Oeroeg. Tapi kembali ke pernyataan sebelumnya, film Belanda memang masih kurang dikenal di Indonesia. Kalau film Eropa lainnya, seperti film Italia, Perancis atau Jerman, beberapa kali sudah ditayangkan di bioskop-bioskop yang ada di Indonesia, film Belanda tampaknya baru bisa kita saksikan bila ada Festival Film Belanda.
Direktur Erasmus Huis, Maarten CD Mulder dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (12/9) mengakui, bahwa film Belanda kurang komersial. Belanda diakuinya sebagai negara yang sedikit menghasilkan film.
*disadur dari artikel di Suara Pembaruan*
No comments:
Post a Comment