Praktek perlawanan terhadap poligami sudah dilakukan semenjak dulu kala. Salah satu yang menentang habis-habisan praktek poligami itu adalah RA. Kartini, salah satu Pahlawan Wanita Indonesia yang memperjuangkan emansipasi wanita.
Namun perlawanannya kandas ketika pada 8 November 1903, RA. Kartini harus menikah dengan Djojoadiningrat yang kala itu sudah mempunyai tiga orang istri dan tujuh anak. Setelah diboyong ke Rembang oleh suaminya yang adalah Bupati Rembang, Kartini tidak lagi bicara soal kedudukan harkat dan martabat wanita ataupun tentang pendidikan bahkan tentang poligami, seolah semua perjuangan itu lenyap tak berbekas. Usahanya dalam menggapai terang setelah kegelapan menyelimuti masih belum selesai ketika beliau dipanggil oleh Pemiliknya pada 17 September 1904, empat hari setelah melahirkan anak laki-laki dan satu-satunya.
Siapakah RA. Kartini ?
Dilahirkan pada 21 April 1879, ayahnya adalah RMAA. Sosroningrat yang pada waktu itu masih menjabat sebagai wedana. Ibunya adalah Ngasirah, anak dari Kyai Haji Madirono dan Nyai Haji Siti Aminah, pedagang kopra dari Desa Mayong, Jepara. Dari Ngasirah ini, Sosroningrat memiliki delapan anak. Ketika Sosroningrat diangkat sebagai Bupati Jepara, maka demi menuruti peraturan colonial yang berlaku saat itu bahwa seorang Bupati harus beristrikan bangsawan atau turunannya, maka yang menjadi Raden Ayu Bupati Jepara atau Garwa Padmi adalah Raden Ayu Moerjam, putri dari RAA. Tjitrowikromo, keturunan langsung Raja Madura. Sementara Ngasirah berstatus selir dan tidak diperkenankan tinggal di rumah utama. Semua anak-anaknya harus memanggil dirinya Yu (panggilan untuk orang kebanyakan / kakak perempuan) dan Ngasirah sendiri harus memanggil anak-anaknya dengan sebutan Ndoro.
Kartini adalah anak kelima dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Kartini merupakan anak perempuan tertua. Keluarga Kartini merupakan turunan keluarga cerdas. Kakek Kartini yaitu Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat Bupati dalam usia relatif muda yaitu 25 tahun, sementara itu kakak Kartini, Sosrokartono adalah ahli bidang bahasa. Selama pendidikan singkatnya di Belanda, beliau menguasai hampir 26 bahasa asing.
Walaupun hanya mengenyam pendidikan sampai di Sekolah Rakyat, jiwa Kartini adalah jiwa pemberontak dan tidak menyukai banyak hal yang menurut beliau tidak sepatutnya dilakukan antara sesame umat manusia. Hal ini dapat dibaca pada suratnya kepada Stella, sahabat korespondensinya pada 18 Agustus 1899 :
“Sesungguhnya adat sopan-santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus merangkak bila hendak lalu dihadapanku. Kalau adikku duduk di kursi, saat aku lalu, haruslah segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tidak kelihatan lagi. Adik-adikku tidak boleh berkamu dan berengkau kepadaku. Mereka hanya boleh menegur aku dalam bahasa Kromo Inggil (bahasa Jawa tingkat tinggi). Tiap kalimat yang diucapkan haruslah diakhiri dengan sembah.
Berdiri bulu kuduk bila kita berada dalam lingkungan keluarga bumiputera yang ningrat. Bercakap-cakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya, harus perlahan-lahan, sehingga orang yang didekatnya sajalah yang dapat mendengar. Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut “kuda liar.”
Peduli apa aku dengan segala tata cara itu … segala peraturan, semua itu bikinan manusia dan hanya menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu .. Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini dan Kardinah) tidak ada lagi tata cara. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan batas-batas mana cara liberal itu boleh dijalankan.
Masih banyak lagi surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat dekatnya yang menuliskan tentang banyak hal yang ada dalam alam pikiran seorang Kartini, perempuan tanah Jawa yang memiliki pola jauh kedepan dibanding dengan sesamanya pada saat itu.
Siapakah sahabat-sahabat dekat Kartini ini ? adalah orang-orang yang sering korespondensi ataupun bercakap-cakap langsung dengannya yang mana sebenarnya hampir semuanya adalah merupakan musuh-musuh dalam selimut yang tidak ingin Kartini menjadi lebih maju. Diantaranya adalah;
JH. Abendanon
Datang ke Hindia-Belanda pada tahun 1900 ditugaskan oleh pemerintah Belanda sebagai Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan. Pada masa-masa pertamanya tinggal di Hindia-Belanda, ia banyak dibantu oleh teman sehaluan politiknya yaitu Meneer Snouck Hurgronye, arsitek kemenangan Belanda atas Perang Aceh. Hurgronyelah yang menyarankan Abendanon untuk mendekati Kartini. Abendanonlah nantinya yang kemudian paling gigih berusaha menghalangi Kartini belajar ke Negeri Belanda. Ia tidak ingin Kartini lebih maju lagi.
EE. Abendanon (Ny. Abendanon)
Pendamping setia suaminya dalam menjalankan tugas mendekati Kartini. Sampai menjelang wafatnya, Kartini masih membina hubungan korespondensi dengannya.
Dr. Adriani
Dikenalkan oleh Keluarga Abendanon saat keluarga Kartini ke Batavia. Dr. Adriani ini adalah seorang ahli bahasa serta pendeta yang bertugas menyebarkan Kristen di Toraja, Sulawesi Selatan. Dr. Adriani ini kelak menjadi teman korespondensi Kartini yang paling intim.
Annie Glasser
Seorang guru yang memiliki beberapa akta pengajaran bahasa. Ia mengajarkan bahasa Perancis secara private kepada Kartini tanpa memungut bayaran. Abendanonlah yang meminta Glasser untuk datang ke Jepara untuk mengamati dan mengikuti perkembangan pemikiran Kartini. Tidak heran jika kelak Abendanon dapat mematahkan rencana Kartini untuk berangkat belajar ke Negeri Belanda, dengan mempergunakan diplomasi psikologis tingkat tinggi. Ketika semua pihak telah gagal dalam upaya menghalangi kepergian Kartini ke Belanda, tiba-tiba Abendanon datang dari Batavia ke Jepara untuk menemui Kartini tanpa perantaraan surat. Abendanon hanya membutuhkan berbicara beberapa menit dengan Kartini dengan hasil Kartini memutuskan membatalkan keberangkatannya ke Negeri Belanda. Hal ini hanya mungkin jika Abendanon mengetahui secara persis kondisi psikologis Kartini dan hal ini tidak lain karena bantuan dari Annie Glasser sebagai mata-matanya.
Stella (Estelle Zeehandelaar)
Sewaktu dalam masa pingitan yang mana adalah masa yang sangat dibencinya, Kartini banyak menghabiskan waktunya untuk membaca. Kartini tidak puas hanya mengikuti perkembangan pergerakan wanita di Eropa melalui buku dan majalah saja. Beliau ingin mengetahui yang sesungguhnya, maka untuk itu beliau memasang iklan di sebuah majalah di Negeri Belanda : Hollandsche Lelie”. Melalui iklan itu, Kartini menawarkan diri sebagai sahabat pena untuk wanita Eropa. Iklan tersebut disambut baik dengan segera oleh Stella, seorang wanita Yahudi Belanda. Stella adalah anggota militant pergerakan feminis di Negeri Belanda saat itu. Ia bersahabat dengan tokoh sosialis; Ir. Van Kol.
Ir. Van Kol
Van Kol pernah tinggal di Hindia-Belanda selama 16 tahun sebelum mengenal Kartini. Bekerja sebagai insinyur dan ia juga ahli dalam masalah-masalah colonial. Stella-lah yang mengenalkannya pada Kartini. Van Kol mendukung dan memperjuangkan kepergian Kartini ke Negeri Belanda atas biaya Pemerintah Belanda. Namun, rupanya ada niat tertentu Van Kol, Van Kol berharap dengan kepergian Kartini ke Negeri Belanda dapat menjadikan Kartini sebagai ‘saksi hidup’kebobrokan pemerintahan colonial Belanda di Hindia-Belanda. Hal ini semua dilakukan demi mensukseskan ambisinya dalam memenangkan partainya di Parlemen yaitu Partai Sosialis.
Itulah beberapa dari yang disebut sebagai sahabat-sahabat Kartini. Yang memegang peranan banyak dalam ritme kehidupan seorang Kartini.
Seratus dua tahun setelah kepergiannya menghadap Sang Khalik, perjuangannya belum tuntas, belum usai di Bumi Pertiwi ini. Munculnya Kartini-Kartini muda seakan memberikan tanda bahwa apa yang diperjuangkan Kartini semenjak dulu adalah hal yang murni dan tulus tanpa ada pamrih dan maksud tersembunyi apa pun dibelakangnya.
Semoga Kartini-Kartini muda ini akan dapat terus berjuang meneruskan apa yang tertunda sehingga bisa membuat tanah air menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.
Phnom Penh, 21 April 2006
Disarikan dari berbagai sumber dan diolah ulang oleh HCS. Puruhito
Thursday, April 27, 2006
Tuesday, April 25, 2006
Pernah tidak merasa kecewa akan satu hal tapi tidak bisa menyalurkannya, berusaha untuk mengeluarkannya dari dalam hati agar tidak menjadi penyakit yang menular dan membuat segala sesuatunya menjadi salah kaprah tapi nampaknya semua itu sia-sia ?
Mungkin saatnya saya untuk belajar tidak peduli seperti yang lainnya, belajar untuk tidak lagi berusaha memberikan yang terbaik walaupun itu dengan mengorbankan kepentingan diri sendiri, belajar untuk menjadi manusia egois, belajar untuk bisa seperti mereka yang melakukan segala sesuatunya tanpa beban.
dan rasa sakit itu masih ada ..
Mungkin saatnya saya untuk belajar tidak peduli seperti yang lainnya, belajar untuk tidak lagi berusaha memberikan yang terbaik walaupun itu dengan mengorbankan kepentingan diri sendiri, belajar untuk menjadi manusia egois, belajar untuk bisa seperti mereka yang melakukan segala sesuatunya tanpa beban.
dan rasa sakit itu masih ada ..
Monday, April 24, 2006
SOE HOK GIE
Bicara tentang perfilman Indonesia terkadang menggemaskan, mengesalkan namun juga menyimpan sejuta harapan. Kurang lebih seminggu yang lalu waktu saya di Indonesia, saya membeli VCD Gie, sebuah film karya Mira Lesmana yang disutradarai oleh Riri Riza.
Saya sudah mendengar mengenai akan dibuatnya film Gie ini waktu film tersebut masih dalam taraf perencanaan. Info ini saya dapat dari salah seorang rekan dekat saya yang masuk dalam tim pra produksi film tersebut, dan sebagai seseorang yang mencintai sejarah, saya tertarik untuk melihat hasil akhir film tersebut. Setelah tertunda sekian lama maka baru dua malam lalu saya kesampaian untuk melihat film Gie ini.
Entah kenapa ada perasaan haru biru, deg-deg-an dan senang, semua bercampur menjadi satu ketika saya melihat film ini. Seolah-olah walaupun tidak digambarkan secara lengkap namun pengejawantahan ataupun aplikasi dari buku Catatan Harian Seorang Demonstran tergambar dengan apik.
Mengenai teknis dari film tersebut, well, saya bukan ahlinya, mungkin satu hal yang buat saya agak menganggu adalah layar hitam yang muncul untuk waktu yang cukup lama setiap ganti masa satu perjalanan kehidupan Gie atau dari adegan ke adegan. Lalu juga dalam beberapa adegan suara backsound tampak lebih besar volumenya daripada suara narasi sehingga terkadang narasi yang diucapkan terdengar tidak jelas.
Pemilihan pemain Gie kecil yang jatuh pada Jonathan Mulia buat saya adalah merupakan pilihan yang cocok, dengan gaya yang (hampir) sama dengan pembawaan Nicholas Saputra sebagai Gie muda. Setting yang ditangani oleh Iri Supit kembali membuktikan kepiawaiannya dalam membuat suasana terasa kembali seperti Jakarta periode akhir 50an dan masa-masa 60an. Peran Ira yang dimainkan oleh Sita Nursanti (if I am not mistaken) atau lebih dikenal dengan Sita RSD terlihat sangat wajar dan gaya penampilannya yang sangat 50an sekali menunjukkan bahwasanya dia mempunyai bakat acting yang dapat diperhitungkan dalam kancah perfilman Indonesia. Nicholas sendiri terlihat berusaha sekali mendalami perannya tersebut, hal ini terlihat dari gaya keberhasilannya menggambarkan cara berjalan (maaf) pria Cina pada umumnya dan cara membawa tasnya .
Film diawali dengan narasi Gie yang bercerita tentang siapa itu Soe Hok Gie, bagaimana pemikirannya dan bagaimana kehidupan keluarganya serta lingkungannya berada. Persahabatannya dengan Han tampak digambarkan secara jelas, bagaimana dia begitu membela Han ketika sahabatnya itu dipukuli oleh Tantenya yang galak, bagaimana dia berusaha mengajak Han untuk bersembunyi dirumahnya karena dia tahu bahwa Han adalah anggota Partai Komunis Indonesia yang lagi dicari oleh aparat untuk ditangkap dan dibunuh. Diceritakan pula bagaimana dia membantah gurunya karena gurunya itu salah dalam menilai dialog seputar siapa itu Chairil Anwar dan tokoh kesusastraan dunia. Digambarkan pula bagaimana dia hendak memukuli gurunya yang menurut dia tidak adil lalu mengikuti langkah gurunya itu sampai kerumah dan tidak jadi memukuli gurunya itu ketika melihat dimana gurunya tinggal dan bagaimana kehidupan keluarga gurunya. Sisi humanisme Gie yang terekam dengan baik.
Pengembangan karakter berjalan dengan menarik dan terkadang membuat kita berusaha mengingat setiap kejadian yang terjadi di film itu tersebut karena saling berhubungan. Penggambaran suasana demonstrasi tidak diperlihatkan secara kolosal (mungkin karena pertimbangan biaya .. hehehe) namun apa yang ditayangkan sudah cukup memberikan gambaran jelasnya pada masa itu bagaimana pergerakan mahasiswa bergerak cepat dan gesit.
Satu hal lain yang mungkin juga membutuhkan biaya besar sehingga tidak difilmkan adalah perjalanan Gie ke Amerika dan ke Australia sekitar tahun 1968 kalau tidak salah setahun sebelum kematiannya. Dimana dalam perjalanan itu piringan hitam penyanyi kesayangannya Joan Baez dengan lagunya yang terkenal “Donna Donna Donna” (dimana dalam film Gie, lagu ini dinyanyikan dengan sangat apik dan membuat haru biru oleh Sita RSD) ditahan di Bandara Australia karena dianggap anti perang dan komunis.
Siapakah Soe Hok Gie itu ?
Ketika film ini dibuat dan mulai dipublikasikan, tidak banyak orang terutama kalangan muda atau generasi penerus bangsa Indonesia yang mengenal Soe Hok Gie. Jika ditanya, either mereka mengangkat bahu, mengatakan tidak tahu atau pura-pura berpikir mencari tahu siapakah gerangan Gie ini.
Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942, Gie ini adalah adik dari sosiolog terkenal Indonesia yang sekarang bermukim di Australia yaitu Arief Budiman.
Catatan hariannya dibuat dari tanggal 4 Maret 1957 saat dia berusia kurang lebih lima belas tahun sampai dengan 8 Desember 1969, 9 hari sebelum kematiannya yang mengenaskan di puncak Gunung Semeru.
Menolak untuk tinggal kelas, Gie kemudian pindah ke salah satu SMP di Jakarta dan melanjutkan SMA-nya di Kolese Kanisius lalu kuliah di Universitas Indonesia. Semasa kuliahnya inilah Gie banyak melakukan berbagai aktifitas, salah satunya mendirikan MAPALA UI (Mahasiswa Pencinta Alam) yang mana salah satu kegiatan terpentingnya adalah naik gunung. Kritikannya terhadap masa pemerintahan Soekarno terkadang membuat orang-orang yang membacanya cukup merah telinganya, belum lagi sikap sinis dan kekecewaannya terhadap teman-teman seangkatannya yang pada masa tahun 66 turun ke jalan untuk membela rakyat dan mengutuk serta mengkritik para pejabat pemerintah tapi kemudian ketika mereka lulus dan bekerja akhirnya berpihak kesana dan melupakan tujuan utama dari perjuangan sebelumnya..
Gie dimakamkan pada tanggal 24 Desember 1969, satu hari sebelum Hari Natal, di Taman Pemakaman Umum Menteng Pulo, namun (entah kenapa) dua hari kemudian kuburannya dibongkar dipindahkan ke Pekuburan Umum Kober Tanah Abang. Tahun 1975 ketika Gubernur Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober, makam Gie harus dipindahkan, namun pihak keluarga tidak setuju dan menolak memindahkan makam Gie ini. Akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan disebar di puncak Gunung Pangrango di Padang Suryakencana kalau tidak salah.
Perfilman Indonesia tampak semakin melaju dan mudah-mudahan bisa kembali menggapai cita-citanya untuk menjadi tuan rumah dinegerinya sendiri.
Betapa pun kontroversialnya film Gie ini (apalagi dengan adanya lagu Gendjer-Gendjer), tetap bahwa film ini telah menambah khazanah perbendaharaan film di dunia perfilman Indonesia. Saya percaya masih akan ada film-film controversial lainnya yang akan muncul.
“Halo ? … “
‘Ya ?’
“Hary ? … “
‘Yupe .., siapa nih ?’
“Teman lama .., masih inget ndak ? .. saya qweriquriqer”
‘Oh, hai .. apa kabar ? udah lama tidak terdengar sepak terjangnya’
“Baik, aku ada info nich .. katanya Mr. ……. mau bikin film judulnya Dr. Subandrio”
‘HAH ? .. serius ? .. waahh, menarik tuch .. let me know .. let me know .. saya daftar dech untuk ikutan dalam production teamnya’
“Siip, I know you are going to like it. I’ll update you”
‘Thanks’
Saya sudah mendengar mengenai akan dibuatnya film Gie ini waktu film tersebut masih dalam taraf perencanaan. Info ini saya dapat dari salah seorang rekan dekat saya yang masuk dalam tim pra produksi film tersebut, dan sebagai seseorang yang mencintai sejarah, saya tertarik untuk melihat hasil akhir film tersebut. Setelah tertunda sekian lama maka baru dua malam lalu saya kesampaian untuk melihat film Gie ini.
Entah kenapa ada perasaan haru biru, deg-deg-an dan senang, semua bercampur menjadi satu ketika saya melihat film ini. Seolah-olah walaupun tidak digambarkan secara lengkap namun pengejawantahan ataupun aplikasi dari buku Catatan Harian Seorang Demonstran tergambar dengan apik.
Mengenai teknis dari film tersebut, well, saya bukan ahlinya, mungkin satu hal yang buat saya agak menganggu adalah layar hitam yang muncul untuk waktu yang cukup lama setiap ganti masa satu perjalanan kehidupan Gie atau dari adegan ke adegan. Lalu juga dalam beberapa adegan suara backsound tampak lebih besar volumenya daripada suara narasi sehingga terkadang narasi yang diucapkan terdengar tidak jelas.
Pemilihan pemain Gie kecil yang jatuh pada Jonathan Mulia buat saya adalah merupakan pilihan yang cocok, dengan gaya yang (hampir) sama dengan pembawaan Nicholas Saputra sebagai Gie muda. Setting yang ditangani oleh Iri Supit kembali membuktikan kepiawaiannya dalam membuat suasana terasa kembali seperti Jakarta periode akhir 50an dan masa-masa 60an. Peran Ira yang dimainkan oleh Sita Nursanti (if I am not mistaken) atau lebih dikenal dengan Sita RSD terlihat sangat wajar dan gaya penampilannya yang sangat 50an sekali menunjukkan bahwasanya dia mempunyai bakat acting yang dapat diperhitungkan dalam kancah perfilman Indonesia. Nicholas sendiri terlihat berusaha sekali mendalami perannya tersebut, hal ini terlihat dari gaya keberhasilannya menggambarkan cara berjalan (maaf) pria Cina pada umumnya dan cara membawa tasnya .
Film diawali dengan narasi Gie yang bercerita tentang siapa itu Soe Hok Gie, bagaimana pemikirannya dan bagaimana kehidupan keluarganya serta lingkungannya berada. Persahabatannya dengan Han tampak digambarkan secara jelas, bagaimana dia begitu membela Han ketika sahabatnya itu dipukuli oleh Tantenya yang galak, bagaimana dia berusaha mengajak Han untuk bersembunyi dirumahnya karena dia tahu bahwa Han adalah anggota Partai Komunis Indonesia yang lagi dicari oleh aparat untuk ditangkap dan dibunuh. Diceritakan pula bagaimana dia membantah gurunya karena gurunya itu salah dalam menilai dialog seputar siapa itu Chairil Anwar dan tokoh kesusastraan dunia. Digambarkan pula bagaimana dia hendak memukuli gurunya yang menurut dia tidak adil lalu mengikuti langkah gurunya itu sampai kerumah dan tidak jadi memukuli gurunya itu ketika melihat dimana gurunya tinggal dan bagaimana kehidupan keluarga gurunya. Sisi humanisme Gie yang terekam dengan baik.
Pengembangan karakter berjalan dengan menarik dan terkadang membuat kita berusaha mengingat setiap kejadian yang terjadi di film itu tersebut karena saling berhubungan. Penggambaran suasana demonstrasi tidak diperlihatkan secara kolosal (mungkin karena pertimbangan biaya .. hehehe) namun apa yang ditayangkan sudah cukup memberikan gambaran jelasnya pada masa itu bagaimana pergerakan mahasiswa bergerak cepat dan gesit.
Satu hal lain yang mungkin juga membutuhkan biaya besar sehingga tidak difilmkan adalah perjalanan Gie ke Amerika dan ke Australia sekitar tahun 1968 kalau tidak salah setahun sebelum kematiannya. Dimana dalam perjalanan itu piringan hitam penyanyi kesayangannya Joan Baez dengan lagunya yang terkenal “Donna Donna Donna” (dimana dalam film Gie, lagu ini dinyanyikan dengan sangat apik dan membuat haru biru oleh Sita RSD) ditahan di Bandara Australia karena dianggap anti perang dan komunis.
Siapakah Soe Hok Gie itu ?
Ketika film ini dibuat dan mulai dipublikasikan, tidak banyak orang terutama kalangan muda atau generasi penerus bangsa Indonesia yang mengenal Soe Hok Gie. Jika ditanya, either mereka mengangkat bahu, mengatakan tidak tahu atau pura-pura berpikir mencari tahu siapakah gerangan Gie ini.
Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942, Gie ini adalah adik dari sosiolog terkenal Indonesia yang sekarang bermukim di Australia yaitu Arief Budiman.
Catatan hariannya dibuat dari tanggal 4 Maret 1957 saat dia berusia kurang lebih lima belas tahun sampai dengan 8 Desember 1969, 9 hari sebelum kematiannya yang mengenaskan di puncak Gunung Semeru.
Menolak untuk tinggal kelas, Gie kemudian pindah ke salah satu SMP di Jakarta dan melanjutkan SMA-nya di Kolese Kanisius lalu kuliah di Universitas Indonesia. Semasa kuliahnya inilah Gie banyak melakukan berbagai aktifitas, salah satunya mendirikan MAPALA UI (Mahasiswa Pencinta Alam) yang mana salah satu kegiatan terpentingnya adalah naik gunung. Kritikannya terhadap masa pemerintahan Soekarno terkadang membuat orang-orang yang membacanya cukup merah telinganya, belum lagi sikap sinis dan kekecewaannya terhadap teman-teman seangkatannya yang pada masa tahun 66 turun ke jalan untuk membela rakyat dan mengutuk serta mengkritik para pejabat pemerintah tapi kemudian ketika mereka lulus dan bekerja akhirnya berpihak kesana dan melupakan tujuan utama dari perjuangan sebelumnya..
Gie dimakamkan pada tanggal 24 Desember 1969, satu hari sebelum Hari Natal, di Taman Pemakaman Umum Menteng Pulo, namun (entah kenapa) dua hari kemudian kuburannya dibongkar dipindahkan ke Pekuburan Umum Kober Tanah Abang. Tahun 1975 ketika Gubernur Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober, makam Gie harus dipindahkan, namun pihak keluarga tidak setuju dan menolak memindahkan makam Gie ini. Akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan disebar di puncak Gunung Pangrango di Padang Suryakencana kalau tidak salah.
Perfilman Indonesia tampak semakin melaju dan mudah-mudahan bisa kembali menggapai cita-citanya untuk menjadi tuan rumah dinegerinya sendiri.
Betapa pun kontroversialnya film Gie ini (apalagi dengan adanya lagu Gendjer-Gendjer), tetap bahwa film ini telah menambah khazanah perbendaharaan film di dunia perfilman Indonesia. Saya percaya masih akan ada film-film controversial lainnya yang akan muncul.
“Halo ? … “
‘Ya ?’
“Hary ? … “
‘Yupe .., siapa nih ?’
“Teman lama .., masih inget ndak ? .. saya qweriquriqer”
‘Oh, hai .. apa kabar ? udah lama tidak terdengar sepak terjangnya’
“Baik, aku ada info nich .. katanya Mr. ……. mau bikin film judulnya Dr. Subandrio”
‘HAH ? .. serius ? .. waahh, menarik tuch .. let me know .. let me know .. saya daftar dech untuk ikutan dalam production teamnya’
“Siip, I know you are going to like it. I’ll update you”
‘Thanks’
Wednesday, April 12, 2006
Friday, April 07, 2006
Monday, April 03, 2006
Subscribe to:
Posts (Atom)