Thursday, April 27, 2006

RA. Kartini

Praktek perlawanan terhadap poligami sudah dilakukan semenjak dulu kala. Salah satu yang menentang habis-habisan praktek poligami itu adalah RA. Kartini, salah satu Pahlawan Wanita Indonesia yang memperjuangkan emansipasi wanita.

Namun perlawanannya kandas ketika pada 8 November 1903, RA. Kartini harus menikah dengan Djojoadiningrat yang kala itu sudah mempunyai tiga orang istri dan tujuh anak. Setelah diboyong ke Rembang oleh suaminya yang adalah Bupati Rembang, Kartini tidak lagi bicara soal kedudukan harkat dan martabat wanita ataupun tentang pendidikan bahkan tentang poligami, seolah semua perjuangan itu lenyap tak berbekas. Usahanya dalam menggapai terang setelah kegelapan menyelimuti masih belum selesai ketika beliau dipanggil oleh Pemiliknya pada 17 September 1904, empat hari setelah melahirkan anak laki-laki dan satu-satunya.

Siapakah RA. Kartini ?

Dilahirkan pada 21 April 1879, ayahnya adalah RMAA. Sosroningrat yang pada waktu itu masih menjabat sebagai wedana. Ibunya adalah Ngasirah, anak dari Kyai Haji Madirono dan Nyai Haji Siti Aminah, pedagang kopra dari Desa Mayong, Jepara. Dari Ngasirah ini, Sosroningrat memiliki delapan anak. Ketika Sosroningrat diangkat sebagai Bupati Jepara, maka demi menuruti peraturan colonial yang berlaku saat itu bahwa seorang Bupati harus beristrikan bangsawan atau turunannya, maka yang menjadi Raden Ayu Bupati Jepara atau Garwa Padmi adalah Raden Ayu Moerjam, putri dari RAA. Tjitrowikromo, keturunan langsung Raja Madura. Sementara Ngasirah berstatus selir dan tidak diperkenankan tinggal di rumah utama. Semua anak-anaknya harus memanggil dirinya Yu (panggilan untuk orang kebanyakan / kakak perempuan) dan Ngasirah sendiri harus memanggil anak-anaknya dengan sebutan Ndoro.

Kartini adalah anak kelima dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Kartini merupakan anak perempuan tertua. Keluarga Kartini merupakan turunan keluarga cerdas. Kakek Kartini yaitu Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat Bupati dalam usia relatif muda yaitu 25 tahun, sementara itu kakak Kartini, Sosrokartono adalah ahli bidang bahasa. Selama pendidikan singkatnya di Belanda, beliau menguasai hampir 26 bahasa asing.

Walaupun hanya mengenyam pendidikan sampai di Sekolah Rakyat, jiwa Kartini adalah jiwa pemberontak dan tidak menyukai banyak hal yang menurut beliau tidak sepatutnya dilakukan antara sesame umat manusia. Hal ini dapat dibaca pada suratnya kepada Stella, sahabat korespondensinya pada 18 Agustus 1899 :
“Sesungguhnya adat sopan-santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus merangkak bila hendak lalu dihadapanku. Kalau adikku duduk di kursi, saat aku lalu, haruslah segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tidak kelihatan lagi. Adik-adikku tidak boleh berkamu dan berengkau kepadaku. Mereka hanya boleh menegur aku dalam bahasa Kromo Inggil (bahasa Jawa tingkat tinggi). Tiap kalimat yang diucapkan haruslah diakhiri dengan sembah.

Berdiri bulu kuduk bila kita berada dalam lingkungan keluarga bumiputera yang ningrat. Bercakap-cakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya, harus perlahan-lahan, sehingga orang yang didekatnya sajalah yang dapat mendengar. Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut “kuda liar.”

Peduli apa aku dengan segala tata cara itu … segala peraturan, semua itu bikinan manusia dan hanya menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu .. Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini dan Kardinah) tidak ada lagi tata cara. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan batas-batas mana cara liberal itu boleh dijalankan.

Masih banyak lagi surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat dekatnya yang menuliskan tentang banyak hal yang ada dalam alam pikiran seorang Kartini, perempuan tanah Jawa yang memiliki pola jauh kedepan dibanding dengan sesamanya pada saat itu.

Siapakah sahabat-sahabat dekat Kartini ini ? adalah orang-orang yang sering korespondensi ataupun bercakap-cakap langsung dengannya yang mana sebenarnya hampir semuanya adalah merupakan musuh-musuh dalam selimut yang tidak ingin Kartini menjadi lebih maju. Diantaranya adalah;

JH. Abendanon
Datang ke Hindia-Belanda pada tahun 1900 ditugaskan oleh pemerintah Belanda sebagai Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan. Pada masa-masa pertamanya tinggal di Hindia-Belanda, ia banyak dibantu oleh teman sehaluan politiknya yaitu Meneer Snouck Hurgronye, arsitek kemenangan Belanda atas Perang Aceh. Hurgronyelah yang menyarankan Abendanon untuk mendekati Kartini. Abendanonlah nantinya yang kemudian paling gigih berusaha menghalangi Kartini belajar ke Negeri Belanda. Ia tidak ingin Kartini lebih maju lagi.

EE. Abendanon (Ny. Abendanon)
Pendamping setia suaminya dalam menjalankan tugas mendekati Kartini. Sampai menjelang wafatnya, Kartini masih membina hubungan korespondensi dengannya.

Dr. Adriani
Dikenalkan oleh Keluarga Abendanon saat keluarga Kartini ke Batavia. Dr. Adriani ini adalah seorang ahli bahasa serta pendeta yang bertugas menyebarkan Kristen di Toraja, Sulawesi Selatan. Dr. Adriani ini kelak menjadi teman korespondensi Kartini yang paling intim.

Annie Glasser
Seorang guru yang memiliki beberapa akta pengajaran bahasa. Ia mengajarkan bahasa Perancis secara private kepada Kartini tanpa memungut bayaran. Abendanonlah yang meminta Glasser untuk datang ke Jepara untuk mengamati dan mengikuti perkembangan pemikiran Kartini. Tidak heran jika kelak Abendanon dapat mematahkan rencana Kartini untuk berangkat belajar ke Negeri Belanda, dengan mempergunakan diplomasi psikologis tingkat tinggi. Ketika semua pihak telah gagal dalam upaya menghalangi kepergian Kartini ke Belanda, tiba-tiba Abendanon datang dari Batavia ke Jepara untuk menemui Kartini tanpa perantaraan surat. Abendanon hanya membutuhkan berbicara beberapa menit dengan Kartini dengan hasil Kartini memutuskan membatalkan keberangkatannya ke Negeri Belanda. Hal ini hanya mungkin jika Abendanon mengetahui secara persis kondisi psikologis Kartini dan hal ini tidak lain karena bantuan dari Annie Glasser sebagai mata-matanya.

Stella (Estelle Zeehandelaar)
Sewaktu dalam masa pingitan yang mana adalah masa yang sangat dibencinya, Kartini banyak menghabiskan waktunya untuk membaca. Kartini tidak puas hanya mengikuti perkembangan pergerakan wanita di Eropa melalui buku dan majalah saja. Beliau ingin mengetahui yang sesungguhnya, maka untuk itu beliau memasang iklan di sebuah majalah di Negeri Belanda : Hollandsche Lelie”. Melalui iklan itu, Kartini menawarkan diri sebagai sahabat pena untuk wanita Eropa. Iklan tersebut disambut baik dengan segera oleh Stella, seorang wanita Yahudi Belanda. Stella adalah anggota militant pergerakan feminis di Negeri Belanda saat itu. Ia bersahabat dengan tokoh sosialis; Ir. Van Kol.

Ir. Van Kol
Van Kol pernah tinggal di Hindia-Belanda selama 16 tahun sebelum mengenal Kartini. Bekerja sebagai insinyur dan ia juga ahli dalam masalah-masalah colonial. Stella-lah yang mengenalkannya pada Kartini. Van Kol mendukung dan memperjuangkan kepergian Kartini ke Negeri Belanda atas biaya Pemerintah Belanda. Namun, rupanya ada niat tertentu Van Kol, Van Kol berharap dengan kepergian Kartini ke Negeri Belanda dapat menjadikan Kartini sebagai ‘saksi hidup’kebobrokan pemerintahan colonial Belanda di Hindia-Belanda. Hal ini semua dilakukan demi mensukseskan ambisinya dalam memenangkan partainya di Parlemen yaitu Partai Sosialis.

Itulah beberapa dari yang disebut sebagai sahabat-sahabat Kartini. Yang memegang peranan banyak dalam ritme kehidupan seorang Kartini.

Seratus dua tahun setelah kepergiannya menghadap Sang Khalik, perjuangannya belum tuntas, belum usai di Bumi Pertiwi ini. Munculnya Kartini-Kartini muda seakan memberikan tanda bahwa apa yang diperjuangkan Kartini semenjak dulu adalah hal yang murni dan tulus tanpa ada pamrih dan maksud tersembunyi apa pun dibelakangnya.

Semoga Kartini-Kartini muda ini akan dapat terus berjuang meneruskan apa yang tertunda sehingga bisa membuat tanah air menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.


Phnom Penh, 21 April 2006
Disarikan dari berbagai sumber dan diolah ulang oleh HCS. Puruhito

2 comments:

deltakirana said...

21 april kmaren pake kemben & kebaya ya jeung...? jgn lupa kondenya pake bukan dimaenin... heu3...

nontjes said...

thanks for sharing this post!

salam dr org bdg yg ksasar di jatim