Monday, April 24, 2006

SOE HOK GIE

Bicara tentang perfilman Indonesia terkadang menggemaskan, mengesalkan namun juga menyimpan sejuta harapan. Kurang lebih seminggu yang lalu waktu saya di Indonesia, saya membeli VCD Gie, sebuah film karya Mira Lesmana yang disutradarai oleh Riri Riza.

Saya sudah mendengar mengenai akan dibuatnya film Gie ini waktu film tersebut masih dalam taraf perencanaan. Info ini saya dapat dari salah seorang rekan dekat saya yang masuk dalam tim pra produksi film tersebut, dan sebagai seseorang yang mencintai sejarah, saya tertarik untuk melihat hasil akhir film tersebut. Setelah tertunda sekian lama maka baru dua malam lalu saya kesampaian untuk melihat film Gie ini.

Entah kenapa ada perasaan haru biru, deg-deg-an dan senang, semua bercampur menjadi satu ketika saya melihat film ini. Seolah-olah walaupun tidak digambarkan secara lengkap namun pengejawantahan ataupun aplikasi dari buku Catatan Harian Seorang Demonstran tergambar dengan apik.

Mengenai teknis dari film tersebut, well, saya bukan ahlinya, mungkin satu hal yang buat saya agak menganggu adalah layar hitam yang muncul untuk waktu yang cukup lama setiap ganti masa satu perjalanan kehidupan Gie atau dari adegan ke adegan. Lalu juga dalam beberapa adegan suara backsound tampak lebih besar volumenya daripada suara narasi sehingga terkadang narasi yang diucapkan terdengar tidak jelas.

Pemilihan pemain Gie kecil yang jatuh pada Jonathan Mulia buat saya adalah merupakan pilihan yang cocok, dengan gaya yang (hampir) sama dengan pembawaan Nicholas Saputra sebagai Gie muda. Setting yang ditangani oleh Iri Supit kembali membuktikan kepiawaiannya dalam membuat suasana terasa kembali seperti Jakarta periode akhir 50an dan masa-masa 60an. Peran Ira yang dimainkan oleh Sita Nursanti (if I am not mistaken) atau lebih dikenal dengan Sita RSD terlihat sangat wajar dan gaya penampilannya yang sangat 50an sekali menunjukkan bahwasanya dia mempunyai bakat acting yang dapat diperhitungkan dalam kancah perfilman Indonesia. Nicholas sendiri terlihat berusaha sekali mendalami perannya tersebut, hal ini terlihat dari gaya keberhasilannya menggambarkan cara berjalan (maaf) pria Cina pada umumnya dan cara membawa tasnya .


Image hosting by Photobucket




Image hosting by Photobucket



Film diawali dengan narasi Gie yang bercerita tentang siapa itu Soe Hok Gie, bagaimana pemikirannya dan bagaimana kehidupan keluarganya serta lingkungannya berada. Persahabatannya dengan Han tampak digambarkan secara jelas, bagaimana dia begitu membela Han ketika sahabatnya itu dipukuli oleh Tantenya yang galak, bagaimana dia berusaha mengajak Han untuk bersembunyi dirumahnya karena dia tahu bahwa Han adalah anggota Partai Komunis Indonesia yang lagi dicari oleh aparat untuk ditangkap dan dibunuh. Diceritakan pula bagaimana dia membantah gurunya karena gurunya itu salah dalam menilai dialog seputar siapa itu Chairil Anwar dan tokoh kesusastraan dunia. Digambarkan pula bagaimana dia hendak memukuli gurunya yang menurut dia tidak adil lalu mengikuti langkah gurunya itu sampai kerumah dan tidak jadi memukuli gurunya itu ketika melihat dimana gurunya tinggal dan bagaimana kehidupan keluarga gurunya. Sisi humanisme Gie yang terekam dengan baik.

Pengembangan karakter berjalan dengan menarik dan terkadang membuat kita berusaha mengingat setiap kejadian yang terjadi di film itu tersebut karena saling berhubungan. Penggambaran suasana demonstrasi tidak diperlihatkan secara kolosal (mungkin karena pertimbangan biaya .. hehehe) namun apa yang ditayangkan sudah cukup memberikan gambaran jelasnya pada masa itu bagaimana pergerakan mahasiswa bergerak cepat dan gesit.

Satu hal lain yang mungkin juga membutuhkan biaya besar sehingga tidak difilmkan adalah perjalanan Gie ke Amerika dan ke Australia sekitar tahun 1968 kalau tidak salah setahun sebelum kematiannya. Dimana dalam perjalanan itu piringan hitam penyanyi kesayangannya Joan Baez dengan lagunya yang terkenal “Donna Donna Donna” (dimana dalam film Gie, lagu ini dinyanyikan dengan sangat apik dan membuat haru biru oleh Sita RSD) ditahan di Bandara Australia karena dianggap anti perang dan komunis.

Siapakah Soe Hok Gie itu ?
Ketika film ini dibuat dan mulai dipublikasikan, tidak banyak orang terutama kalangan muda atau generasi penerus bangsa Indonesia yang mengenal Soe Hok Gie. Jika ditanya, either mereka mengangkat bahu, mengatakan tidak tahu atau pura-pura berpikir mencari tahu siapakah gerangan Gie ini.

Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942, Gie ini adalah adik dari sosiolog terkenal Indonesia yang sekarang bermukim di Australia yaitu Arief Budiman.

Catatan hariannya dibuat dari tanggal 4 Maret 1957 saat dia berusia kurang lebih lima belas tahun sampai dengan 8 Desember 1969, 9 hari sebelum kematiannya yang mengenaskan di puncak Gunung Semeru.

Menolak untuk tinggal kelas, Gie kemudian pindah ke salah satu SMP di Jakarta dan melanjutkan SMA-nya di Kolese Kanisius lalu kuliah di Universitas Indonesia. Semasa kuliahnya inilah Gie banyak melakukan berbagai aktifitas, salah satunya mendirikan MAPALA UI (Mahasiswa Pencinta Alam) yang mana salah satu kegiatan terpentingnya adalah naik gunung. Kritikannya terhadap masa pemerintahan Soekarno terkadang membuat orang-orang yang membacanya cukup merah telinganya, belum lagi sikap sinis dan kekecewaannya terhadap teman-teman seangkatannya yang pada masa tahun 66 turun ke jalan untuk membela rakyat dan mengutuk serta mengkritik para pejabat pemerintah tapi kemudian ketika mereka lulus dan bekerja akhirnya berpihak kesana dan melupakan tujuan utama dari perjuangan sebelumnya..

Gie dimakamkan pada tanggal 24 Desember 1969, satu hari sebelum Hari Natal, di Taman Pemakaman Umum Menteng Pulo, namun (entah kenapa) dua hari kemudian kuburannya dibongkar dipindahkan ke Pekuburan Umum Kober Tanah Abang. Tahun 1975 ketika Gubernur Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober, makam Gie harus dipindahkan, namun pihak keluarga tidak setuju dan menolak memindahkan makam Gie ini. Akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan disebar di puncak Gunung Pangrango di Padang Suryakencana kalau tidak salah.

Perfilman Indonesia tampak semakin melaju dan mudah-mudahan bisa kembali menggapai cita-citanya untuk menjadi tuan rumah dinegerinya sendiri.

Betapa pun kontroversialnya film Gie ini (apalagi dengan adanya lagu Gendjer-Gendjer), tetap bahwa film ini telah menambah khazanah perbendaharaan film di dunia perfilman Indonesia. Saya percaya masih akan ada film-film controversial lainnya yang akan muncul.

“Halo ? … “

‘Ya ?’

“Hary ? … “

‘Yupe .., siapa nih ?’

“Teman lama .., masih inget ndak ? .. saya qweriquriqer”

‘Oh, hai .. apa kabar ? udah lama tidak terdengar sepak terjangnya’

“Baik, aku ada info nich .. katanya Mr. ……. mau bikin film judulnya Dr. Subandrio”

‘HAH ? .. serius ? .. waahh, menarik tuch .. let me know .. let me know .. saya daftar dech untuk ikutan dalam production teamnya’

“Siip, I know you are going to like it. I’ll update you”

‘Thanks’

No comments: