Wednesday, February 21, 2007

in memoriam : SOBRON AIDIT

Beberapa waktu yang lalu ketika saya membuka email dan kemudian membaca satu email berisi berita dukacita, saya terkejut.

"Har, Om Sobron wafat di Paris kemarin."

Sebuah kalimat singkat namun cukup membuat saya terdiam sesaat, berdoa agarsanya Om Sobron diterima disisi-Nya.

Saya mengenal Om Sobron dari buku-buku yang dikarang olehnya, waktu itu kalau tidak salah era reformasi sudah berjalan di bumi Nusantara ini, ada banyak buku dari para pengarang eksil atau eks tahanan politik peristiwa 65 kembali diterbitkan setelah hampir lebih dari tiga dasawarsa dibekukan. Bahasa yang digunakan dalambuku-bukunya adalah bahasa yang lugas dan merakyat terkadang pun dicampur dengan bahasa daerah. Agaknya darah kesusastraan sesungguhnya mengalir dalam tubuh keluarga Aidit. Hal ini hanya berdasarkan kesimpulan saya pribadi karena saya memiliki kesempatan untuk bertemu langsung dengan dua orang anggota keluarga Aidit, Om Sobron yang adik kandung D.N. Aidit dan Ilham Aidit yang putra kandung D.N. Aidit. Kepiawaian Om Ilham dalam merangkai kata ketika mempresentasikan sesuatu merupakan keahliannya yang saya kagumi.

Salah satu buku Om Sobron yang menjadi favorit saya adalah buku yang bercerita tentang restorannya di Paris yang menjual masakan Indonesia namun juga restoran tersebut tidak pernah lepas dari intaian para intel.

Om Sobron adalah adik kandung dari Dipa Nusantara Aidit atau yang lebih dikenal dengan nama D.N. Aidit, Ketua Partai Komunis Indonesia [PKI]. Hal inilah yang menyebabkan namanya masuk dalam daftar hitam pemerintah Republik Indonesia pada masa zaman Orde Baru berkuasa.

Pada saat terjadinya peristiwa G 30 S, Om Sobron saat itu sedang berada di Beijing, Cina, untuk mengajar di salah satu sekolah disana. Peristiwa 30 September itu menyebabkan beliau tidak dapat pulang kembali ke Tanah Air. Sementara dalam hatinya sendiri bertanya-tanya sedang terjadi apakah di Indonesia saat itu.

Om Sobron mengetahui kabar bahwa kakaknya sudah meninggal dari delegasi Kuba yang datang ke Beijing dan menyampaikan pesan dari Fidel Castro bahwa D.N. Aidit sudah meninggal.

Ketika itulah perjalanan hidupnya dimulai dengan segala kegetiran, rasa amarah, sedih semua bercampur menjadi satu. Satu kehidupan yang berubah secara drastis. Dapat dirasakan bagaimana rasanya ditolak masuk ke negerinya sendiri. Om Sobron berkelana dari satu negara ke negara lain. Beberapa temannya bahkan meninggal di luar negeri tanpa pernah memiliki kesempatan untuk kembali melihat Tanah Air.

Ketika tahun 1998 Presiden Soeharto turun dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia, saat itulah Om Sobron memiliki kesempatan untuk pulang menengok kembali Tanah Air yang telah ditinggalkannya semenjak pra peristiwa 1965.

Saya sendiri memiliki kesempatan untuk bertatap muka langsung dengan Om Sobron pada suatu sore. Ketika itu saya masih bekerja di salah satu LSM yang bergerak di bidang sastra, budaya dan sejarah Indonesia, kebetulan sekali proyek yang saya tangani adalah proyek yang berkaitan dengan Peristiwa 1965. Om Sobron adalah seorang penulis cerita, puisi dan artikel yang handal, karyanya banyak sekali diterbitkan di luar negeri. Karena saat itu LSM saya sedang menyusun satu buku yang berisikan hasil karya para eksil di luar negeri, pada satu kesempatan beliau ke Tanah Air, beliau mampir ke kantor tempat saya bekerja tersebut ditemani oleh salah seorang tokoh teater dan juga aktris senior Indonesia.

Saya melihat Om Sobron sebagai seseorang yang berjiwa muda, terlihat sehat dan gagah dan pandangan matanya masih tajam seperti layaknya orang-orang muda yang memiliki satu spirit yang tinggi. Hal ini pun saya lihat di diri Om Pramoedya.

Salah satu cita-citanya adalah beliau ingin para korban peristiwa 1965 tersebut agar diperlakukan secara manusiawi. Belum tentu mereka bersalah dan belum tentu juga bahwa mereka adalah pelaku sesungguhnya.

Menurut berita yang saya baca, Om Sobron akan dikremasikan dan beliau meminta agar abunya sebagian ditaruh di makam istrinya di Beijing dan sebagian lagi ditaruh dimakam ibundanya di Belitung.

Sampai akhir hayatnya saya percaya bahwa sesungguhnya Om Sobron sangat mencintai Tanah Airnya, Indonesia.

Selamat jalan Om Sobron, semoga perjalanan menghadap sang Khalik diberi kelancaran dan semoga saja apa yang menjadi cita-cita Om Sobron agar para tahanan, mantan tahanan politik peristiwa 1965 dapat direhabilitasi namanya dan diperlakukan manusiawi.

No comments: