Tuesday, March 29, 2011

Nyai Ontosoroh - Sebuah Peran Pelaku Pecinta Kebangsaan

Ketika kita menonton sebuah pertunjukan teater dan kemudian diam terpaku dan menyimak serta menikmati setiap percakapan, setiap kalimat per kalimat yang keluar dari mulut pemainnya tanpa pernah merasa bosan, ketika itulah kita menyadari sesungguhnya bahwa sang aktor pelaku pemeran tersebut telah berhasil dan sukses memainkan peranannya dengan sempurna.

Itulah yang saya rasakan ketika saya kembali menonton sebuah pertunjukan teater “Mereka Memanggilku Nyai Ontosoroh” di Komunitas Salihara hari Jumat dan Sabtu kemarin. Pertunjukan itu terus membayang dalam pikiran dan hati saya.

Karya teater tersebut diadaptasi dari buku karangan salah satu pujangga besar yang pernah dimiliki oleh Indonesia; Pramoedya Ananta Toer; Bumi Manusia.

Buku Bumi Manusia ini adalah merupakan seri pertama dari tetralogi Buru karya Pram. Tetralogi ini menceritakan bagaimana perjuangan Minke sebagai seorang pribumi yang memiliki kesempatan mengenyam pendidikan barat di tanah Hindia Belanda dan mertuanya Nyai Ontosoroh, seorang perempuan pribumi yang bangkit dari ketidakberdayaannya sebagai perempuan pribumi dan merubah stigmatisasi seorang nyai adalah hanya seorang gundik semata menjadi seorang nyai yang disegani dan berani bertindak karena Nyai Ontosoroh mengerti akan arti keadilan, kejujuran, harga diri dan perjuangan sejati.

Peran Nyai Ontosoroh ini kembali dengan sempurna dimainkan oleh Sita Nursanti.

Sita sebagai salah satu pelaku seni yang cukup dikenal di tanah air mampu mengejawantahkan dengan sangat baik sesungguhnya kalimat-kalimat yang diucapkan dan dapat memberikan satu gambaran tersendiri bahwa Nyai Ontosoroh adalah perempuan tegar dan mampu melawan ketidakadilan.

Ketika saya melihat kembali Sita (pertunjukan pertama kalinya di Erasmus Huis beberapa bulan lalu) memerankan Nyai Ontosoroh ini di Komunitas Salihara, kembali Sita mampu menciptakan satu dimensi khayalan yang sempurna menjadi satu dimensi nyata paripurna ketika dia bercerita, bertutur kata dengan lugas dan jelas serta tegas sebagai layaknya bayangan Nyai Ontosoroh dalam khayalan saya. Kemarahan, rasa murka, rasa senang, duka lara dan kepahitan hidup Nyai Ontosoroh begitu sempurna dibawakan oleh Sita.

Sementara itu pemain lain (karena saya tidak begitu mengenalnya) mampu berkolaborasi dengan sangat baik dan sempurna. Willem Bivers yang memainkan tokoh Robert mampu menciptakan imajinasi nyata akan tokoh seorang Belanda yang mengambil seorang Nyai untuk dididik sebagai seorang nyonya besar. Buat saya tokoh Robert ini adalah pengejawantahan dari ide brilian Van Deventer akan politiknya yang terkenal yaitu politik balas budi.

Sementara Minke yang dimainkan oleh Bagus Setiawan mampu membuat penonton terbuai dan merasakan kegugupan dan kegembiraannya bertemu dengan gadis pujaan hatinya. Bagus mampu membangkitkan rasa tawa namun tidak sinikal atas perilaku bangsa pribumi yang begitu mendewakan Eropa pada masa itu namun tidak menyuruti semangat kebangsaannya dan terus berjuang dengan caranya untuk bisa membela bangsanya sendiri.

Annelies yang diperankan oleh Anita Bintang yang juga menjadi Sanikem atau Nyai Ontosoroh ketika muda, dengan tampang memelasnya mampu membangkitkan emosi dan luapan kekesalan atas ketidakberdayaannya sebagai perempuan Eropa yang berpendidikan namun tak bisa dan tak mampu berjuang untuk mendapatkan hak-haknya yang semuanya telah diatur oleh bangsanya sendiri bangsa Eropa. Betapa kegalauan hati Annelies diperlihatkan secara nyata bahwa dalam tubuhnya mengalir jiwa pribumi, jiwa nasionalis yang lebih kuat ketimbang mengakui dirinya sebagai bagian dari bangsa Eropa.

Kolaborasi empat pemain ini terlihat begitu kompak dan menyatu. Ini tentunya tidak lepas dari peran besar sang sutradara. Kang Wawan yang menjadi sutradara adalah seorang tokoh teater yang mumpuni dan rendah hati.

Selama hampir satu setengah jam para penonton begitu menikmati setiap gerak langkah dan ucap dari para pemain ini dengan setting yang sangat sederhana dan alunan musik pendukung yang begitu menyentuh.

Standing applause yang diberikan oleh para penonton selama dua hari pertunjukan adalah bentuk penghargaan yang tak terhingga atas kerjasama para pemeran dan sutradara serta pendukung lainnya.

Saya pikir ditengah keterpurukan bangsa ini ketika banyak hal-hal konyol muncul ke permukaan dan menyentuh sisi kebangsaan seperti masalah menghormat bendera atau pun juga masalah pluralisme, layaknya pertunjukan seni seperti ini mampu hadir dan membangkitkan bentuk nasionalisme baru terutama bagi generasi penerus bangsa.

Patut dibanggakan bahwa dalam dua hari pertunjukan dan ketika semua tempat duduk penuh terisi, 90 % dari tempat duduk tersebut adalah generasi muda yang tentunya tanpa mengurangi rasa hormat, sebagian dari mereka mungkin belum pernah membaca secara lengkap buku tetralogi Buru tersebut. Tetapi dengan mereka mau menonton ini tentunya rasa penasaran akan kelanjutan perjuangan Nyai Ontosoroh bersama Minke menghadapi penjajahan di bumi Hindia Belanda akan membangkitkan minat baca mereka akan karya-karya besar pujangga bangsa ini.

Semoga pertunjukan teater seperti ini akan terus ada dan hidup dan semakin bisa meraih minat generasi muda untuk belajar mencintai bangsanya melalui karya seni pertunjukan.

Semoga!

Selamat buat Sita, Willem, Anita, Bagus, Kang Wawan dan tim Salihara!

No comments: