Beberapa waktu yang lalu ketika lagi (seperti biasa) minum kopi di salah satu mall di Jakarta, saya
bertemu dengan teman baik saya yang sudah lama menghilang dari peredaran. Sekarang ini katanya dia lagi sibuk membenahi
diri agar bisa tampil lebih prima di usianya yang tidak muda lagi. Saya tertawa walaupun saya tahu bahwa apa
yang dikatakannya itu benar dilakukan olehnya. Dari situlah obrolan melanjut
membahas banyak hal. Saya tergelitik dan tergelak ketika kami berdua membahas
mengenai umur, ukuran baju dan celana. Tampaknya ukuran selalu menjadi hal yang
terkadang dibilang tidak penting namun sesungguhnya menjadi hal yang penting
dan utama. Kontradiksi dua kalimat “Size matters” dan “Size doesn’t matter”
akan selalu terus ada.
Teman saya ini saat minum kopi dan mengobrol, membahas
tentang cerita cintanya terakhir. Well, reputasi dia yang patah tumbuh hilang
berganti tampaknya masih ada sampai dengan sekarang, itu pemikiran saya pada
mulanya. Pada mulanya. Ternyata saya salah.
“Umur adalah sebuah ukuran nyata bagi kita, terutama urusan
percintaan yaa,” begitu teman saya bilang. Saya hanya mengangguk saja dan
menunggu dia meneruskan ceritanya. Bagi
teman saya ini ternyata faktor umur
ternyata mempengaruhi berbagai macam ukuran dalam kehidupan.
Dia bercerita bahwa
faktor usia menjadi satu tolak ukur dalam mengambil pasangan atau pun dalam hal
daya tarik. Dia bilang bahwa semakin kita bertambah usia, semakin terlihat
lebih dewasa, lebih berwawasan dan lebih bijaksana tentunya dan yang paling utama
lebih stabil dalam hal keuangan. Makanya orang-orang yang sudah berusia,
katakanlah, diatas 30 tahun, selalu (tidak selalu) mendapatkan pasangan yang
lebih muda. Bagi saya ini pemikiran yang sangat relevan, alamiah, atau bahasa
kerennya adalah pemikiran heteronormativitas.
Melihat mimik muka saya yang tidak begitu setuju dengan cara
berpikirnya walaupun melihat fakta di sekeliling saya bahwa hal ini benar dan
ada, dia kemudian terus melanjutkan obrolannya tanpa memberikan kepada saya
kesempatan untuk mengemukakan pendapat. Sebagai orang yang sering menjadi “tong
sampah” buat orang lain, saya hanya tersenyum dan kemudian mendengarkan
kelanjutan dari obrolannya.
Setelah masalah usia yang
menjadi tolak ukur. Teman baik saya ini kemudian melanjutkan dengan
membahas masalah kadar cinta. Bagaimana cinta diukur dalam bentuk sebuah
hubungan. Baginya tidak berkeberatan untuk menjadi, lagi, katakanlah, penopang
hidup, karena menurut dia ukuran cinta itu bisa dibeli dengan mudah. Kali ini
saya memotong pembicaraannya. Saya katakan kepada teman saya itu bahwa cinta
itu memang bisa dibeli. Tapi ukuran sebuah cinta murni, cinta tulus, cinta yang
tanpa pamrih dan ikhlas itu harus datang dari dalam hati. Saya mungkin termasuk
orang yang punya pemikiran konservatif jika berhubungan dengan cinta. Saya
katakan pada teman baik saya itu bahwa ketika saya ingin menjalin hubungan
dengan seseorang dan ada respon yang sama dari orangnya, maka kejujuran,
keterbukaan dalam segala hal adalah tolak ukur cinta yang pertama buat saya.
Bukan suatu hal yang mudah memang untuk mendapatkan itu tapi dengan konsisten
pada jalannya pasti akan didapat pada saatnya nanti. Teman baik saya itu hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya dan tersenyum.
Lalu teman saya ini bertanya mengenai ukuran cinta bagi
saya, tentunya dia bertanya ini setelah dia menganalisa dari omongan saya
sepanjang ngobrol dengan dia. Saya bilang pada dia bahwa ukuran dalam sebuah
perspektif klasik adalah ketika dua orang yang akan menjalin sebuah hubungan
dan membuat semuanya menjadi seimbang. Ukuran cinta menjadi seimbang karena
proses pendekatan dan proses “take and give”. Ukuran sayang menjadi seimbang
karena proses komunikasi yang berjalan lancar. Pertanyaan teman baik saya
kemudian yang membuat saya berpikir apakah saya wajar dalam mengatakan pendapat
saya itu? Dia bertanya seberapa banyak orang yang memiliki pemikiran serupa
saya. Hal ini yang kemudian membuat saya bertanya kepada beberapa orang secara
random, hanya untuk mengetahui apakah masih banyak orang yang berpikiran secara
konservatif ala saya atau perspektif sudah bergeser?
Saya kemudian bertanya secara “random” kepada beberapa orang
yang saya kenal atau saya baru kenal. Ketika saya bertanya mengenai ukuran
dalam hal sebuah hubungan percintaan atau bahasa sekarangnya pacaran, berbagai
macam jawaban muncul.
A mengatakan bahwa bagi dia ukuran cinta adalah masalah
penampilan. Jika dia bisa mendapatkan seseorang yang diperebutkan oleh orang
banyak, itulah ukuran keberhasilannya dalam soal cinta, tanpa memandang hati dan
perasaannya yang sesungguhnya apakah dia benar suka atau tidak dengan orang
itu.
Sementara B mengatakan bahwa ukuran cinta baginya adalah
masalah finansial. Tidak perduli orang itu cakap, tidak perduli orang itu
gemuk, tidak perduli orang itu dandan senorak apa pun, sepanjang orang itu bisa
memenuhi segala kebutuhannya bagi dia itu sudah cukup.
C saat ditanya mengatakan
bahwa ukuran cinta adalah sebuah ukuran absurd, ukuran abstrak karena
baginya sepanjang hatinya nyaman, damai dan tentram tidak masalah. Ketika saya
mengatakan bahwa nyaman, damai dan tentram itu masuk dalam klasifikasi ukuran
perspektif klasik, dia bilang tidak, karena dia tidak mau berhubungan dengan
yang terlalu kaya, tidak mau juga berhubungan dengan yang tidak punya apa-apa
tapi disisi lain dia tidak mau berbagi.
And the interview goes on and on, ..
Pada akhirnya saya kemudian menyimpulkan bahwasanya ukuran
dalam hal percintaan adalah sebuah hal yang perspektifnya bisa dikatakan
relatif. Kadarnya dari masing-masing individu tentunya berbeda dan pandangan
akan pengertian ukuran pun ternyata ada dalam berbagai hal.
Tapi yang penting tentunya dari itu semua adalah ukuran
ketulusan hati dan keikhlasan dalam menjalankan sebuah hubungan dan menerima
pasangan apa adanya. Mungkin terdengar klise tapi itu yang saya dapat dari
hasil obrolan dengan teman baik saya dan bertanya secara random pada beberapa
orang.
Sekarang tinggal bagaimana kita menyikapi diri kita sendiri
akan ukuran itu?