Semua orang selalu bilang bahwa jatuh cinta adalah hal paling mendasar yang bisa membuat orang menjadi berubah dan biasanya berubah menjadi seseorang yang lebih menyenangkan. Saya percaya bahwa kekuatan cinta adalah hal mutlak yang tidak bisa dipungkiri oleh orang-orang. Seperti yang pernah saya katakana dalam salah satu postingan blog saya bahwa jatuh cinta itu adalah suatu kondisi yang bisa dikatakan “unconditional” … naaah bingung
Seperti layaknya orang jatuh atau tersandung, jatuh cinta adalah hal yang tidak bisa dihindari karena datang dengan tiba-tiba dan begitu kita menyadarinya, kita sudah terjebak didalamnya dengan segala problematika, kekalutan dan hal-hal lain yang terkadang, sekali lagi saya katakan, menyenangkan atau sebaliknya malah membuat kita terpuruk jatuh.
Sejak pertama kali mengenal dunia cinta *halaaaaahhh .. cheesy banget sich linenya?* saya selalu terjebak pada situasi yang sama dan berakhir pada kegagalan. Bukan suatu hal yang mudah untuk dapat meraih suatu cinta dengan suatu proses menarik dan tentunya kedua belah pihak pun tertarik satu sama lainnya.
Setahun yang lalu kurang lebih ketika saya sudah mulai menyerah untuk mencari cinta, saya menemukan seseorang yang jauh lebih muda dari usia saya, saya pikir saat itu saya bisa berinteraksi dengan baik, saya bisa menjabarkan lapangan asmara menjadi suatu lapangan permainan yang sangat menyenangkan, saya bisa membuka kembali hati saya yang saya pikir sudah waktunya untuk ditutup.
Perjalanan tersebut menjadi menarik ketika komunikasi yang berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Pesan berantai, kata berkait, kalimat bertaut semua seolah merupakan bumbu-bumbu kehidupan yang menjadikan roda perjalanan keseharian berdinamika naik turun tapi dengan ritme yang riang gembira.
Sampai kemudian menyadari pada akhirnya bahwa itu semua salah kaprah! Itu semua hanyalah sekedar bumbu pertemanan! Itu semua adalah bayang-bayang semu khayal semata. Dan akhirnya tidak sekedar jatuh cinta tapi kemudian menjadi jatuh dalam artian sebenarnya. Jatuh pada satu jelaga hitam dan membutakan hati nurani dan membuat torehan luka yang semakin dalam. Akhir dari segala adalah menyerah dan tidak mau mengungkit kembali hal tersebut.
Pada masa setahun yang lalu itu, saya berupaya melakukan rekonsiliasi dengan diri saya sendiri, menyadari bahwa selama ini saya hanya terbuai dan menyesali mengapa hal itu bisa terjadi. Bahwa kemudian yang bersangkutan menyatakan rasa sayangnya dalam satu definisi yang berbeda, membuat saya membuka mata dan menjadikan saya sadar bahwa selama ini saya telah dibutakan oleh perasaan saya sendiri.
Jangankan sampai taraf komitmen, menuju ke arah
Setahun sudah hal itu berlalu, saya berupaya untuk tidak lagi menjadi sakit, tidak lagi menjadi menderita, tidak lagi jatuh cinta. Saya berusaha begitu keras agar hal ini bisa terwujud. Namun kembali kegagalan mendera dan menjadi salah satu bumbu pahit dalam kehidupan manis saya. Saya tahu bahwa hal itu tidaklah beralasan.
Beberapa minggu yang lalu saya bertemu dengan seseorang yang usianya jauh lebih muda dari saya. 15 tahun perbedaan usia adalah jenjang perbedaan yang sangat besar. Tapi entah kenapa saat itu saya mempunyai kenyamanan tersendiri atas apa yang telah dilakukan bersamanya dalam hal komunikasi, cerita-ceritanya sepanjang percakapan telepon, pesan-pesannya dalam kotak pesan di telepon tangan dan hal-hal lain yang saya pikir bahwa ini adalah awal dari suatu proses untuk menjadi satu kesatuan yang mungkin sudah saya nantikan. Jawaban atas doa yang pernah saya ucapkan.
Sampai kemudian suatu ketika saat saya menanyakan arah dan tujuan dari semua ini, tiba-tiba semua hilang, limbung dan tak lagi menapak pada kenyataan. Saya dihadapkan pada satu kenyataan yang seolah membuka kembali luka lama atas apa yang telah terjadi hampir setahun yang lalu. Saya merasa menjadi manusia paling bodoh karena tanpa saya sadari pada mulanya saya kembali melakukan kesalahan yang sama. Saya dibutakan oleh perasaan!
Panggilan menjadikan satu makna yang tak berarti dan perilaku menjadi hal yang bias.
Yang dirasa adalah seperti jatuh dan kemudian menghantam batu yang kemudian menyadarkan saya bahwasanya saya telah, kembali, melakukan harapan semu atas semua yang telah terjadi sepanjang perkenalan saya dengannya. Kini saya hanya bisa tercekat, menelan ludah dengan rasa pilu dan mengusap dada dengan harapan rasa sakit itu akan lenyap dengan seketika tanpa saya harus merasakannya dalam setiap denyut nadi kehidupan saya.
Saya tidak menyalahkan siapa pun, tidak pada keadaan, tidak pada situasi, tidak pada hal-hal lain. Saya hanya menjatuhkan rasa salah ini pada diri saya sendiri. Saatnya mungkin untuk tersenyum getir. Sebuah fenomena kehidupan yang berjalan dengan apa adanya. Saya ingin bisa tetap berdiri tegar dan tersenyum manis tanpa ada embel-embel getir.
Mungkin saatnya untuk kembali menutup pintu hati dan menjalankan kehidupan sebagaimana layaknya manusia biasa yang tak pernah mengenal arti kata cinta. Rasa sayang saya mungkin tak cukup bagi dirinya, rasa kecintaan saya yang saya boleh katakan tulus dan ikhlas tak memenuhi kategorinya.
Seperti kata dalam sebuah lagu lama: “Hidup ini indah, penuh dengan warna .. “
Saya memilih warna hitam saat ini. Kegelapan merupakan sebuah keindahan yang sempurna!