Hari Sabtu minggu lalu saya pergi berburu film dvd seperti biasanya,setelah mendapatkan beberapa film yang saya inginkan, saya memutuskan untuk mengajak makan malam dua orang teman saya yang notabene adalah pemilik toko tempat saya membeli film-film dvd tersebut.
Sepanjang makan malam berlangsung, kami membicarakan kan banyak hal, diantaranya mereka bertanya mengenai kunjungan kenegaraan Presiden RI yang baru lalu. Saya ceritakan semuanya mulai dari persiapan sampai dengan selesainya kunjungan secara garis besarnya. Tidak berapa lama setelah itu, salah satu dari teman mereka yang juga saya kenal menggabungkan diri dengan kami. Banyak sekali tawa dan canda yang terjadi selama makan malam tersebut dan saya benar-benar menikmati malam minggu saya itu.
Setelah makan malam selesai kami memutuskan untuk melanjutkan perbincangan tidak resmi ini dengan berpindah tempat ke Elephant’s Bar Raffles Hotel Le Royale. Terkenal sebagai tempat yang terbaik diseluruh Phnom Penh untuk urusan campuran minuman alias cocktail drink, saya menyemangati semua orang untuk memesan Long Island Iced Tea dengan maksud dan tujuan supaya perbincangannya bisa lama. Sementara saya sendiri memesan the Porto Tawny.
Setelah membahas segala masalah dari mulai editing artikel, translations, alur cerita, pemain film, film-film Kamboja, Angkor Wat, Angelina Jolie, marketing toko baju, developing new café dan banyak hal lain, tiba-tiba saja pembicaraan berkisar pada masalah Khmer Merah. Disadari atau tidak disadari saya menanyakan satu hal kepada mereka mengenai Khmer Merah ini. Pertanyaan ini sudah lama menggelitik dihati semenjak saya mulai membaca semua buku tentang Khmer Merah dan kejayaan bangsa Khmer pada masa lalu dan apa yang saya lihat sekarang ini.
Saya selalu mencintai sejarah dan sampai sekarang pun tidak ada yang bisa mengalahkan rasa keingintahuan saya tentang sejarah. Ketika saya pertama kali tiba di Phnom Penh dan kemudian jalan-jalan ke Toul Sleng dan the Killing Field lalu ke Angkor Wat, mulai dari hari itu saya mulai mencari semua buku-buku yang bisa menceritakan pada saya mengenai masa-masa rezim Pol Pot berkuasa dan masa-masa kejayaan Angkor Wat yang dibangun melalui masa pemerintahan14 raja.
Sebenarnya pertanyaan yang saya lontarkan pada saat itu adalah sebuah pertanyaan sederhana.
“Mengapa generasi muda bangsa Khmer nampak seolah-olah tidak perduli dengan masa lalu bangsanya ?”
Lalu mulailah mereka menjawab pertanyaan saya tersebut, masing-masing dengan gaya dan pemikirannya dan secara jujur saya cukup terkejut karena apa yang saya simpulkan setelah membaca banyak buku mengenai Khmer Merah adalah sama dengan apa yang diceritakan oleh para orang tua teman-teman saya tersebut kepada teman-teman saya, namun ternyata banyak hal-hal kecil yang mempengaruhi dan berefek pada kehidupan yang terjadi sekarang ini. Juga kaitan apa yang telah terjadi pada masa pembantaian massal antara tahun 1975 – 1979 dengan keadaan dan kondisi serta pola pikir generasi muda penerus bangsa Khmer sekarang ini.
Mereka bilang bahwa bukannya mereka tidak perduli dengan apa yang telah terjadi pada masa lalu. Apa yang telah terjadi selama tiga setengah tahun dari mulai tahun 1975 sampai dengan awal 1979 itu adalah bukan sesuatu yang harus dibanggakan ataupun untuk diceritakan kepada semua orang terlebih-lebih bangsa asing.
Masa hitam kelam itu akan selalu ada dalam setiap ingatan orang-orang Khmer, pun tidak semua, dalam artian adalah generasi sekarang yang berusia sekitar 0 – 17 tahun, banyak dari mereka yang tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi dan mengapa tidak pernah ada perlawanan atas apa yang diderita pada masa itu.
Tidak seperti di Indonesia, yang mana tragedi dalam lembaran hitam sejarah kebangsaan Indonesia yang terjadi pada tahun 1965 selalu ada dalam setiap kurikulum sejarah nasional mulai dari bangku SD sampai dengan perguruan tinggi (terlebih lagi dengan diharuskannya kita semua menonton film G30S / PKI setiap tahun), kehidupan masa hitam kelam bangsa Kamboja ini sudah tidak lagi dibicarakan atau diajarkan di bangku-bangku sekolah di Kamboja. Agak menggelitik pikiran saya mengapa hal ini tidak diajarkan lagi di bangku pendidikan di Kamboja, dan teman-teman saya itu menjawab bahwa saat ini adalah saat untuk membangun negeri ini kembali, bukan saat untuk terus memendam kepedihan dan dendam akan apa yang telah terjadi di masa lalu. Kalau dulu bangsa Khmer bisa menjadi bangsa yang besar yang terbukti dengan adanya Angkor Wat, maka setelah masa rezim Pol Pot, saatnya untuk kembali meniti menuju kebesaran itu.
Terhenyak saya pada jawaban teman saya tersebut karena inilah kali pertamanya saya mendapatkan satu jawaban yang sangat gamblang dan jelas dan penuh dengan semangat serta optimisme. Selama ini jika saya melemparkan pertanyaan seputar Khmer Merah pada beberapa orang teman saya yang bisa dikatakan usianya empat atau lima tahun dibawah saya, jawaban yang saya dapatkan hanyalah sebuah jawaban sederhana dan terkesan tidak perduli.
Teman-teman saya tersebut (baru kali ini kami membahas satu hal yang sangat detail pada sebuah perbincangan malam hari) menyadari bahwa sesungguhnya selama masa tiga setengah tahun itu telah terjadi banyak kehilangan dan yang paling penting adalah kehilangan satu generasi sehingga mengakibatkan adanya perbedaan generasi yang cukup jauh (gap of generation). Pada masa pembantaian itu adalah benar-benar masa pembantaian satu bangsa oleh bangsanya sendiri. Sebuah negara yang benar-benar menutup diri dan tidak memberlakukan mata uang pembayaran ataupun mengadakan jalannya satu pemerintahan. Semua sama rata dan sama rasa harus bekerja di sawah-sawah. Satu keluarga bisa tercerai berai dan terkadang tidak bertemu lagi. Banyak sekali yang hilang mulai dari orang-orang kerajaan, orang-orang pemerintahan, para cendekiawan, para seniman, pekerja seni, guru, anak-anak dan bayi-bayi.
Ketika mereka menceritakan pengalaman keluarga mereka masing-masing, saat itulah pertama kalinya secara nyata saya merasakan dan menyaksikan betapa secara emosional mereka meluap dan tanpa malu air mata menetes.
“Did you know that I lost one of my brother and before he died he was blind ? when my mother came to pick him up in the province, he already could not see my mom and what he did was only keep calling my mom while his hand was waving and his face was smiling as if nothing happened.”
“My mother did not want to talk about that era because she saw the Khmer Rouge killed his sister’s baby. Did you know the way they killed the baby ? they threw the baby to the air while at the ground their sword was standing so when the baby fell to the ground, the stomach or the chest went directly to the sword.”
Dan seterusnya, dan seterusnya ..
Saya menolak untuk mendengarkan lebih lanjut karena saya tidak mau sampai membayangkan bagaimana hal itu terjadi.
Mereka mengatakan bahwa mereka bukannya tidak perduli tapi mereka sudah cukup kenyang mendengarkan cerita dari mulut ke mulut yang merupakan kisah nyata para sesepuh mereka yang selalu diceritakan setiap kali ada pertemuan keluarga atau setiap kali berkumpul. Saya memahami bahwa mengapa para orang tua atau sesepuh mereka menceritakan hal ini, saya yakin bahwa sesungguhnya para tetua itu mengajari generasi mudanya agar kejadian hitam kelam itu tidak terjadi kembali di masa mendatang.
Pembicaraan masih terus berlanjut sampai larut, dan ketika waktu telah menunjukkan tengah malam setelah kami menghabiskan berbungkus rokok dan minuman, kami memutuskan untuk pulang dan berjanji untuk bertemu kembali Sabtu yang akan datang dengan pembahasan yang berbeda.