Monday, July 11, 2005

TAHUKAH ANDA ?

Mendapati ibu-ibu berpakaian batik merupakan hal langka di Jakarta. Mereka lebih senang berkemeja dan celana panjang karena lebih praktis. Padahal sampai 1950-an kain batik mendominasi busana wanita Indonesia dengan baju kebayanya. Bahkan, para wanita IndoBelanda dan Cina sehari-hari kala itu juga berkain batik dan berkebaya hingga dikenal istilah kebaya encim dengan kain batiknya. Meskipun kini sudah jarang digandrungi para ibu, tapi ratusan koleksi kain batik yang sudah berusia ratusan tahun dapat kita saksikan di Museum Tekstil, Jl Karet Satsuit Tubun (dulu Jl Petamburan) No 4, JakartaBarat. Museum yang diresmikan almarhumah Tien Soehartopada 28 Juni 1976 lalu ini mengetengahkan koleksi kain tradisional dari berbagai daerah Indonesia dengan dominasi kain batik. Sampai tahun 1970-an daerah KaretTengsin dan Setiabudi (Jakarta Pusat) serta Palmerah(Jakarta Barat) menjadi salah satu industri kain batik di ibukota. Sebagian besar industri dan perajin batik itu kini sudah bangkrut. Gedung Museum Tekstil pada mulanya adalah rumah pribadi seorang warganegara Perancis yang dibangun pada abad ke-19. Awal abad ke-19 (1808-1809), Batavia sempat dikuasai Perancis setelah negeri Belanda ditaklukkan Napoleon Bonaparte. Kemudian orang-orang Perancis membangun rumah dan tempat peristirahatan didaerah Petamburan yang kala itu masih merupakan kawasan elit dan jauh dari pusat kota Batavia. Warga Perancis juga banyak tinggal di Batavia. Mereka membuka toko, hotel serta perkantoran di Rijswijk (kini Jl Veteran), Noordwijk (Jl Juanda), danPetamburan yang saat itu dikenal sebagai France Buurt(kawasan Prancis). Tidak diketahui nama warga Perancis yang membangun gedung megah yang ketika baru dibangun berluas dua hektar ini. Hanya disebutkan ia adalah seorang kaya raya dan gedung ini dibangun dengan gaya Islamik yang mencampurkan gaya Eropa dan Timur Tengah serta disesuaikan iklim tropis. Rumah yang berusia lebih satu abad ini sampai 1950-an memiliki tanah luas dibagian belakangnya. Gedung ini pernah dihuni KonsulTurki Sayed Abdul Azis Al Musawi saat Turki masih merupakan Kesultanan Otoman. Konsulat Turki ini menjadi salah satu tempat mengadu bagi orang Indonesiad alam menghadapi kekejaman penjajahan Belanda. Sayed Abdul Azis Al Musawi menikah dengan Siti Rohani yang merupakan puteri pejuang kemerdekaan PangeranSentot Alibasyah yang menjadi anak angkat SultanBengkulu terakhir. Pasangan ini dikaruniai seorang puteri bernama Syarifah Mariam yang kemudian menikah dengan Sayed Abdullah bin Alwi Alatas. Setelah KonsulTurki ini meninggal (1885) rumah tersebut berikut dua buah rumah yang berada di kiri kanannya, masing-masing Jl Petamburan (Jl Karel Satsuit Tubun No 2 dan No 6) dibeli menantunya, Sayed Abdullah. Ia kemudian merenovasinya sebagaimana bentuknya sekarang ini. Menurut Abdullah bin Abbas Alatas (74), saat kakeknya, Sayid Alwi Alatas, menempati rumah barunya itu semangat gerakan Pan Islam tengah berkobar di Jakarta. Bahkan, ia sendiri merupakan salah satu tokoh dari gerakan yang sangat ditentang Belanda ini. Abdullah juga seorang kawan dari Shaikh Mohamad Abduh, murid Sayid Jamaluddin Al-Afghani, pencetus Pan Islam. Kawand ekat lainnya di luar negeri adalah Shaikh Yusufan-Nabhani, mufti Lebanon. Untuk itu Sayed beberapa kali mengunjungi Mesir dan Timur Tengah. Begitu bergairahnya ia membantu gerakan Pan Islam hingga ia mengirimkan empat orang putranya ke sekolah tinggi Turki yang ketika itu masih berbentuk khalifah dan menjadi salah satu pusat gerakan ini. Pada 1916 Sayid menerbitkan majalah Borobudur berbahasa Arab sekaligus sebagai pemrednya. Kakek dari mantan Menlu Ali Alatas dan mantan PM Yaman Selatan, Haydar Alatas, ini juga menyokong penerbitan harianUtusan Hindia, suratkabar pertama berbahasa Melayu dengan pemimpin redaksinya HOS Cokroaminoto. Suratkabar ini lahir sebelum Cokro mendirikan SarikatIslam. Ia juga membantu keuangan Muhammadiyah dan Al-Irsyad ketika kedua organisasi Islam ini didirikan. Selain itu, Sayid juga ikut mendanai Arabithah Alawiyah dan sekolah Jamiatul Kheirnya. Alatas School yang didirikannya di Jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang, (kini kantor kelurahan KebonKacang) merupakan sebuah sekolah Islam modern pertama yang mengajarkan pendidikan agama dan pendidikan Barat. Di kediamannya yang kini jadi Museum Tekstil itu juga pernah digunakan untuk Muktamar NU, seperti diungkapkan tokoh NU KH Mohamad Dachlan. Sayid yang lahir di Pekojan, Jakarta Barat, (1840) ini oleh orang Betawi dijuluki tuan tanah Baghdad. Ia memang salah seorang terkaya di Batavia ketika itu. Konon, ia memiliki tanah dari Pondok Betung di Bintaro hingga ke Pondok Cabe seluas lima ribu hektar. Dirumahnya itu ia sering kali mengumpulkan para pedagang kecil lalu membeli dagangan mereka untuk kemudian disumbangkan kepada orang-orang tak mampu yang banyak tinggal di sekitar tempat tinggalnya. Sayid yangmeninggal pada 1929 dalam usia 89 tahun dimakamkan di pemakaman wakaf Tanah Abang yang oleh Ali Sadikin digusur dan dijadikan rumah susun. Ketika wafat ia meninggalkan 30 ribu buku yang menurut cucunya, Abdullah bin Abbas, dihibahkan ke Madrasah Jamiatul.

No comments: