Wednesday, September 19, 2012

Gubernur dan Seni.

Dalam tiga hari mendatang, Jakarta akan kembali menggelar pesta rakyat untuk mereka yang memiliki kartu tanda penduduk Jakarta. Pemilihan Kepala Daerah untuk Daerah Khusus Ibukota akan kembali di gelar untuk putaran ke 2.

Berbagai macam bentuk kampanye telah dilakukan oleh masing-masing calon gubernur untuk lima tahun mendatang. Berbagai macam dalih, siasat, strategi telah diluncurkan oleh para tim sukses calon gubernur. Kota yang tadinya (atau sudah dan selalu) tenang kembali hiruk pikuk. Mulai dari bentuk nyata kampanye, poster yang digelar dimana-mana yang menjadikan kota menjadi lebih kotor dan sosial media yang menjadi ajang saling menjatuhkan dan saling (mungkin) fitnah antara satu calon dengan calon lainnya.

Ketika ditanya oleh beberapa teman siapakah yang akan menjadi jagoan saya dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta, saya mengatakan pada mereka bahwa saya tidak memilih. Bukan berarti golput, tetapi lebih kepada saya pemegang KTP Jawa Barat.

Bagi saya yang sudah tinggal di Jakarta semenjak tahun 1990, perkembangan kota terasa sekali. Mall yang tadinya hanya satu dua di beberapa area, kini menjamur layaknya stall kios Mak Icih yang ada di mana-mana. Dari tidak ada Trans Jakarta sampai entah sekarang sudah sampai di koridor berapa. Dari mulai rencana pembangunan monorail Cinere - Kota sampai tiang pancangnya berdiri dan menganggu estetika kota. Semua itu saya rasakan walau saya sempat meninggalkan ibukota selama hampir empat tahun dan bekerja di negeri orang.

Yang menggelitik bagi saya dari semua rangkaian kampanye dan persiapan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta Raya ini adalah ketika tiga hari lalu saya datang untuk menonton sebuah konser musik.

Konser Musik ini diadakan di sebuah bangunan yang sesungguhnya ketika dibangun pada tahun 1962 oleh Bung Karno sebagai tempat untuk melaksanakan pertandingan olah raga tenis dalam ruangan, atau bahasa yang lebih dikenal di kalangan masyarakat Jakarta pecinta konser, bangunan ini bernama Tennis Indoor.

Sungguh suatu hal yang sangat miris, betapa Jakarta sebagai ibukota negara yang sudah sedemikian maju dibanding berapa puluh tahun lalu, masih tidak punya sebuah gedung yang patut dijadikan sebagai gedung pertunjukan yang layak untuk dipakai dengan segala fasilitasnya yang up to date.

Taruhlah saat ini Jakarta punya JCC, Teater Jakarta, Teater Kecil, GKJ. Tapi kenapa setiap ada pertunjukan musik dalam kategori pertunjukan besar atau bersifat konser jarang dilaksanakan ditempat-tempat tersebut?

Harga sewa menjadi hal utama. Pertimbangan lain adalah lokasi yang mungkin dianggap kurang strategis. Gedung pertunjukan bagus belum tentu punya fasilitas penunjang yang bagus pula. Contohnya adalah Teater Jakarta dan Teater Kecil yang berlokasi di Taman Ismail Marzuki. Jarang ada yang mau memakai konser musik disitu karena pertimbangan parkir dan padatnya area sekitar sehingga menjadikan para penonton tidak nyaman atau pihak penyelenggara merasa jika mengadakan di tempat itu perlu biaya ekstra untuk pengamanan dan parkir dan lain-lain.

Begitu banyak gedung yang berubah fungsi dan begitu banyak juga gedung-gedung tua yang sesungguhnya jika di renovasi bisa menjadi suatu tempat pertunjukan menarik.

Semoga Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya yang baru akan bisa lebih memperhatikan tentang estetika kota, kegunaannya dan bisa menjadikan Jakarta sebagai kota yang dikangenin, yang didamba dan dibanggakan.



Sunday, September 02, 2012

Persahabatan; kolektif memori manis dan pahit

Belakangan ini entah kenapa begitu banyak hal-hal yang menyangkut persahabatan yang terlintas dalam kehidupan saya. Entah itu berupa film, cerita yang lagi dibaca atau kejadian nyata yang dialami dan diceritakan orang kepada saya.

Perjalanan hidup selama 40 tahun banyak sekali membuahkan sahabat yang datang silih berganti. Ada yang terus sampai sekarang dan ada yang hilang dan ketika bertemu kembali keadaan sudah berubah tidak lagi seperti dulu.

Mungkin kali ini saya cerita tentang orang-orang yang pernah singgah dalam kehidupan saya, tapi setelah saya pikir, ada sisi miris dan giris yang kemudian membuat saya untuk tidak jadi menceritakan itu.

Dari TK saya sudah punya teman-teman baik, teman yang selalu bersama dalam setiap kesempatan sampai kemudian kami masuk SD dan mulai berpisah untuk urusan belajar mengajar tapi masih bersama ketika waktu main sore tiba. Satu demi satu sahabat saya tersebut meninggalkan saya, bukan karena ada masalah tapi karena ayah kami adalah tentara yang harus siap sedia untuk dipindah setiap saat. Dari lima orang yang selalu bersama, kini tak satu pun saya pernah berjumpa. Yang saya tahu, satu orang sudah mendahului dan sisanya entah kemana, ada yang sudah menikah, ada yang saya tidak ketahui kehidupannya lagi. Era kemajuan teknologi pun tidak membantu banyak ketika saya berusaha mencari keberadaan mereka.

Di SD, saya tidak punya teman baik banyak, satu dua orang yang kiranya memang mereka adalah teman baik, itu pun karena faktor bapaknya sama-sama tentara dan juga kebetulan rumahnya tidak berjauhan. Dari semua teman-teman di SD, hanya ada tiga orang yang sampai sekarang saya merasa bahwa mereka begitu dekat. Kami masih suka kontak via bbm, terkadang jumpa untuk minum kopi bersama. Dinamika kehidupan mereka pun saya ikuti.

Memasuki masa SMP, inilah masa dimana saya sulit menemukan seorang teman baik. Setelah tiga tahun berjalan di SMP saya menyadari bahwa teman baik saya hanya satu orang, sampai sekarang dia masih suka bertemu, ngopi, makan dan terkadang ngobrol banyak hal. Kehidupan yang berbeda antara saya dan teman-teman di SMP mungkin yang menyebabkan saya sulit memiliki teman baik. Walaupun pada saat sekarang ketika teman-teman SMP berkumpul dan sesekali saya datang, beberapa diantara kami menjadi lebih dekat dan berhubungan erat, tapi tentunya memiliki arti yang berbeda dengan yang memang sudah dekat semenjak di SMP dulu.

Di SMA saya punya satu grup yang selalu bersama semenjak kami duduk bersama di bangku kelas II. Walaupun saya adalah satu-satunya laki-laki di grup itu namun saya punya kenyamanan tersendiri ketika kumpul dengan empat orang lainnya. Kini setelah lulus SMA dan 20 tahun kemudian bertemu, masing-masing sudah memiliki jalan dan pola pemikiran sendiri dan terkadang tentunya pasti berbeda. Dari satu grup itu saya hanya bisa akrab dengan dua orang saja sekarang. Terasa ada jarak yang membentang. Lagi-lagi saya berpikir bahwa ini adalah karena zaman yang berubah dan mengakibatkan pola pikir masing-masing individu berkembang sesuai dengan ruang lingkupnya berada.

Setelah lulus SMA dan kemudian bekerja, saya memiliki teman baik dari beberapa tempat kerja yang pernah saya masuk dan bekerja di dalamnya. Persahabatan di tingkatan tempat kerja ini lebih berisiko buat saya. Kedewasaan dalam berpikir dan bertindak menjadi hal utama. Kejujuran dan kebesaran hati adalah hal mendasar yang perlu ada jika ingin persahabatannya jalan terus. Semakin dewasa tentunya problema semakin banyak dan bertumpuk. Cara penyelesaian setiap masalah adalah langkah pendewasaan dan pengujian akan ketulusan sebuah persahabatan.

Hampir seminggu lalu saya diundang untuk menonton premiere sebuah film Indonesia. Dalam film itu diceritakan bagaimana sebuah persahabatan terjalin secara perlahan sejak mereka masih kanak-kanak sampai kemudian mereka beranjak dewasa. Persahabatan yang tulus, tanpa pamrih dan tanpa pretensi apa-apa. Melihat film itu membuat saya kemudian mencoba mengingat semua memori yang saya ingat dan miliki mengenai persahabatan dari semenjak saya kenal arti kata teman baik sampai sekarang.

Iya, teman datang silih berganti tetapi sahabat tetap di hati. Dari kalimat itu saya menyadari bahwa saya hanya memiliki teman baik atua sahabat yang tidak banyak, bahkan sepuluh jari pun masih lebih jika saya diminta menghitung atau menyebut nama para teman baik yang saya miliki.

Kenangan demi kenangan pahit dan manis bermunculan seperti sebuah kumpulan memori yang enggan untuk pergi dari ingatan dan tersimpan rapi di sudut paling dalam. Hal yang paling sulit adalah ketika berusaha untuk ikhlas dan menerima bahwa teman-teman yang pernah kita anggap sebagai teman baik sekarang tetiba seperti orang lain, seperti orang yang tidak kita kenal, seperti orang yang tak mau lagi bersahabat.

Bagi saya nilai sesungguhnya dari sebuah persahabatan adalah ketulusan yang mendalam, ketika tidak ada lagi hitung-hitungan, ketika tidak ada lagi pamrih, ketika tidak ada lagi rasa bersaing.

Namun dalam saat seperti sekarang ini, seberapa banyak orang yang bisa kita temui dan dengan bangga kita katakan ini adalah sahabat tanpa embel-embel apa pun?  Semakin sedikit.

Kini, kirimkanlah sms / bbm / line / what'sapp atau bicara langsung pada orang yang kau anggap teman baik dan katakanlah bahwa kau menyayanginya dan kau akan selalu ada kapan pun dibutuhkan.